Minggu, 29 Maret 2009

entrepreneur : To see the unseen (2)

Mungkin apa yang saya ceritakan berikut ini tidak pernah terbayangkan oleh generasi muda saat ini.

Saat saya ramaja, sekitar akhir tahun 60-an, belum ada pompa air listrik sebagaimana saat ini. Kebutuhan air untuk berbagai keperluan harus diambil langsung dari sumur dengan cara ditimba. Caranya, ember yang diikat dengan tali timba diturunkan sampai ke permukaan air sumur dan kemudian setelah dipenuhi air ditarik kembali ke atas. Demikian seterusnya.

Sebagai anak sulung, setiap pagi saya bertugas untuk mengisi bak mandi untuk keperluan mandi bagi seluruh keluarga. Bak mandi tersebut ukurannya kira-kira 150 cm (P) x 60 cm (L) x 120 cm (T), jadi diperlukan air kira-kira 1.000 liter untuk memenuhinya.

Dengan menggunakan ember berukuran 8 liter, sedikitnya diperlukan 120 kali menurunkan-naikan ember ke dalam sumur. Dalam keadaan normal, setiap menit saya mampu menimba sebanyak 3 kali, sehingga sedikitnya saya memerlukan waktu 40 menit untuk memenuhi bak mandi tersebut. Tapi pada saat musim kemarau, permukaan air sumur turun dari kedalaman normalnya (6 meter) menjadi 10 meter, sehingga diperlukan waktu sekitar 1 jam untuk memenuhi bak mandi.

Pekerjaan tersebut harus saya selesaikan sebelum pukul 6 pagi, yaitu sebelum adik-adik saya bangun dan mulai mandi. Hal ini penting sekali karena kalau adik-adik saya mulai mandi sebelum bak mandi penuh maka berarti berarti pekerjaan tambahan bagi saya karena tugas saya adlah mengisi penuh bak mandi.

Dengan tugas tersebut, saya menjadi sangat familiar untuk mengkonversikan sebuah pekerjaan menjadi segmen-segmen yang terukur (rasional), memperhitungkan cycle-time suatu segmen pekerjaan, merencanakan kapan waktu yang paling pas untuk memulai suatu pekerjaan agar pekerjaan tersebut selesai tepat waktu, peka terhadap berbagai perubahan (cuaca) dan bangun sebelum subuh.

Hasil sampingan dari tugas tersebut adalah mens sana in corpore sano.

Sabtu, 28 Maret 2009

entrepreneur : To see the unseen (1)

Saya adalah sulung dari 8 bersaudara. Dilahirkan dan dibesarkan di Purbalingga, sebuah kota kabupaten yang kurang penting di daerah ex. Karesidenan Banyumas.

Orang tua saya adalah pedagang minyak goreng kelas menengah, yang bisnis utamanya adalah sebagai pedagang perantara (distributor) minyak goreng dari pabrik minyak goreng yang berlokasi di Cilacap dan Banjarnegara ke pedagang eceran di Purbalingga dan sekitarnya.

Pada puncak kejayaannya, volume penjualan rata-ratanya mencapai kira-kira 5.000 kg/hari. Atau dengan harga yang berlaku sekarang (Rp 7.000,-/kg), nilainya sebesar Rp 35 juta / hari. Keuntungan sebagai distributor hanya 2 - 3% dan setelah dikurangi dengan biaya distribusi, rata-rata keuntungan bersihnya hanya 1% atau kira-kira Rp 7,5 jt/bulan.

Keuntungan tersebut sebetulnya sudah sangat lumayan, apalagi untuk pedagang di kota sekecil Purbalingga. Namun untuk sebuah keluarga besar dengan 7 anak, jumlah tersebut hanya menyisakan sedikit untuk ditabung.

Pada saat itu saya masih duduk di SMP Negeri I Purbalingga. Salah satu tugas saya adalah setiap pagi saya harus mengambil sisa minyak goreng dari drum kosong.
Caranya, drum minyak goreng kosong yang sehari sebelumnya diambil dari pedagang eceran (diganti dengan drum yang baru yang berisi penuh), selama semalaman diletakan terbaring miring dengan bagian bawah (pantat) lebih tinggi dari bagian atasnya sedangkan posisi tutup diatur berada di bagian bawah. Dengan posisi ini maka sisa minyak goreng yang masih melekat di dinding drum akan terkumpul tepat dibagian tutup drum.
Dengan sepotong gombal yang dimasukan melalui tutup drum saya bisa mengambil sisa minyak goreng karena minyak goreng akan membasahi gombal yang kemudian saya peras ke dalam ember.

Pekerjaan tersebut kelihatannya sangat sepele namun secara rata-rata dalam sebulan terkumpul sekitar 200 kg, yang nilainya sekitar Rp 1,4 juta.
Dengan demikian maka dalam waktu 3 tahun tanpa terasa terkumpul tidak kurang dari Rp 50 jt. Suatu jumlah yang apabila didepositokan, hasil bunganya setiap bulan sangat mencukupi untuk membiayai saya melanjutkan ke SMA di Jakarta. Saat itu bunga deposito di bank sekitar 2,5%/bulan.

CATATAN: SEMUA BESARAN NILAI UANG TELAH DIKONVERSIKAN KE DALAM NILAI (HARGA) BERLAKU SAAT INI.

Kamis, 26 Maret 2009

entrepreneur : sosok multi dimensi

Pertanyaan yang seringkali muncul adalah: apakah semua orang bisa menjadi entrepreneur?, seberapa besar pengaruh latar belakang keluarga dalam ikut melahirkan seorang entrepreneur?, apakah entrepreneurship bisa diajarkan secara formal di sekolah?, dan seterusnya....dan seterusnya.

Begitu banyaknya pertanyaan-pertanyaan di sekitar entrepreneur dan entrepreneurship, seolah berusaha untuk menguak misteri dibalik seorang entrepreneur.
Sayangnya tidak pernah ada jawaban yang pasti, jawaban yang bisa memberikan gambaran seutuhnya dari seorang entrepreneur.

Apabila pertanyaan tersebut diajukan pada seorang entrepreneur maka kebanyakan jawaban yang keluar adalah penjelasan yang telah dirasionalisasikan sehingga kehilangan esensinya atau hanya cerita heroik bernuansa nostalgia yang subyektif dan situasional.

Melalui beberapa posting berikut ini, saya akan menceritakan pengalaman-pengalaman yang saya alami di masa lampau, yang pikir telah menjadi "faktor" yang ikut membentuk sosok seorang entrepreneur.
Tulisan-tulisan tersebut tidak dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan tentang entrepreneur dan entrepreneurship, tetapi hanya untuk sekedar memberikan gambaran betapa kompleksnya proses terbentuknya seorang entrepreneur, termasuk entrepreneurship itu sendiri.

Rabu, 25 Maret 2009

Entrepreneur : Lowongan kerja yang tak kunjung terisi

Menjadi entrepreneur mungkin bisa menjadi alternatif bagi para pencari kerja di saat menciutnya lapangan kerja formal akibat krisis global yang telah mengimbas Indonesia sejak 6 bulan yang lalu.

Menurut Ir. Ciputra, Indonesia sedikitnya membutuhkan 4.400.000 entrepreneur (2% dari jumlah penduduk) agar ekonomi bisa tumbuh berkelanjutan (sustainable growth). Sedangkan saat ini baru ada 400.000 entrepreneur (0,18% jumlah penduduk).
Indonesia masih kekurangan 4.000.000 entrepreneur.

Kenyataan tersebut semestinya menyadarkan generasi muda untuk merubah orientasinya; dari seorang pencari kerja menjadi seorang entrepreneur.

Memang tidak mudah menjadi seorang entrpreneur, apalagi untuk mencapai predikat entrepreneur yang berhasil.
Tetapi mengingat peluangnya yang begitu terbuka dan luas, dapat dipastikan bahwa kesempatan untuk menjadi entreprenur masih lebih besar dibandingkan menjadi pekerja.
So, mari kita mencoba menjadi entrepreneur.

Minggu, 22 Maret 2009

"Sorry" seems to be the hardest word

Judul tersebut adalah sepenggal lirik dari sebuah lagu yang kebetulan saya baca pada sebuah tulisan di Media Indonesia minggu dalam pesawat saat terbang dari Jakarta ke Surabaya siang tadi.

Tulisan di Media Indonesia minggu tersebut menjadi menarik karena isinya adalah kebalikan dari The Power of Imaginary Regret yang saya tulis pada 9 Maret 2009 yang lalu.

Sebagai manusia biasa, sering kali kita merasa kecewa bahkan sedih apabila kita diperlakukan tidak adil oleh orang yang kita percaya bahkan kita cintai. Kita tidak bisa menerima perlakuan tersebut.

Dalam keadaan seperti itu, memberi "maaf" menjadi sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan. Seringkali bahkan kita menipu diri kita sendiri dengan mengatakan bahwa kita bisa memaafkan tapi tidak bisa melupakan.
Ketidak-mampuan kita untuk memaafkan atau melupakan perbuatan seseorang, dengan mudah akan berkembang menjadi dendam yang akan membelenggu diri kita.
Pikiran dan hati kita dipenuhi oleh kebencian dan nafsu membalas perlakuan terhadap diri kita.

Saya pikir, hanya cinta kasih sejati yang dapat membebaskan kita dari "hard feering" seperti itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Ryan O'Neal dalam bagian akhir film Love Story yang dibintanginya, Love means never having to say you are sorry.
Sebelum kamu memintanya, aku telah memaafkanmu. So sweet....

Sabtu, 21 Maret 2009

Menjadi Bankable

Menjadi Bankable artinya menjadi seseorang atau perusahaan yang layak mendapatkan pinjaman Bank.
Masalah ini diidentifikasikan sebagai hambatan bagi usaha kecil untuk mendapatkan pinjaman dari Bank yang sangat diperlukan untuk memperluas usahanya.
Memang dirasakan sebagai ketidak-adilan karena di satu pihak usaha kecil begitu sulitnya mendapat pinjaman sedangkan di pihak lain usaha menengah dan besar dengan mudah mendapatkannya, bahkan sekalipun usaha besar dan menengah tidak memiliki agunan (collateral) yang memadai.

Sebagai pengusaha yang bermula dari usaha kecil, saya pun pernah mengalami ketidak-adilan tersebut.

Salah satu hal penting agar sebuah usaha bisa menjadi Bankable adalah usaha tersebut mempunyai "track record" usaha yang mendukung proposal pinjaman yang akan diajukan.
Tanpa "track record" yang sah, Bank manapun tidak akan percaya begitu saja untuk memberikan pinjaman, walau sekalipun usaha yang dijalankan mempunyai prospek yang sangat baik.

Cara mudah dan sederhana untuk menciptakan "track record" adalah dengan menggunakan rekening Bank sebagai sarana untuk menampung seluruh transaksi bisnis.
Mutasi rekening ini secara otomatis akan membuat seluruh kegiatan bisnis tercatat di Bank.

Dengan cara tersebut, tanpa perlu bersusah-payah "track record" yang diperlukan agar sebuah usaha Bankable bisa diperoleh.

Lukas 4: 1-13

Perikop diatas ditulis oleh Anton di face book sebagai topik acara BRCV yang diadakan hari Rabu tanggal 18 Maret 2009 yang lalu.
Sebuah Perikop yang juga merupakan favorit saya.

Perikop ini mengingatkan agar kita selalu waspada terhadap godaan iblis.
Ada dua godaan yang paling banyak menjerumuskan manusia ke dalam dosa. Yang pertama adalah harta dan yang kedua adalah kekuasaan.

Untuk mendapatkan harta (materi) atau kekuasaan orang seringkali tidak segan-segan melakukan apapun alias menghalalkan segala cara. Termasuk pergi ke dukun untuk menggandakan uangnya atau agar terpilih menjadi anggota legeslatif.

Menjadi kaya ataupun mempunyai kekuasaan tentu saja tidak salah.
Kedua hal tersebut justru adalah yang membuat kita bisa menjadi berkat bagi sesama sebagaimana diamanatkan kepada segenap umat kristiani

Yang salah, sebagaimana yang diungkapkan pada cobaan ke-3 adalah bila dengan harta dan kuasa yang dimilikinya, seseorang kemudian merasa dirinya sebagai yang paling dikasihi oleh Tuhan dan mulai men"coba"i Tuhan.
Bahkan lebih jauh lagi, apabila harta atau kekuasaannya begitu besarnya, seseorang seringkali terpancing untuk "playing God".

Menghadiri FGD I2B ITB

Saya baru tahu bahwa FGD itu singkatan dari Focus Group Discussion dan I2B adalah singkatan Incubator Industri & Bisnis.
Acara tersebut diselenggarakan kemarin, Jumat tanggal 20 Maret 2009 di Kampus Center Timur ITB.

Saya tergelitik untuk menuliskan tentang Kampus Center Timur ITB.
Sebuah bangunan berdinding kaca tembus pandang dengan arsitektur minimalis yang memberikan kesan keterbukaan dan keramahan bagi pengunjung.
Entrance yang luas dilengkapi dengan sebuah Toko Buku sangat nyaman bagi para mahasiswa untuk "lesehan" mengerjakan tugas atau belajar.
Dilengkapi dengan sebuah resto bento ala Jepang sungguh membuat siapapun betah berlama-lama walau hanya sekedar untuk melamun.

Pikiran saya melayang, suatu saat nanti saya ingin membangun Gedung semacam itu di sebuah sudut di Mega Andalan Teknopark.
Sebuah Gedung Pintar yang diperuntukan bagi Laboratorium Otomasi Industri dan Laboratorium Otomotif yang sudah direncanakan akan dibangun sejak 2 tahun yang lalu.

Kegiatan seminggu

Minggu ini terasa begitu cepat berlalu.
Begitu banyak kegiatan di luar kegiatan rutin telah menyita waktu dan pikiran sehingga tanpa terasa sudah 5 hari berturut-turut saya absen menulis blog.

Tadi pagi Pak Robert Simatupang, teman main golf saya menanyakan kapan saya menulis lagi. Sudah terlanjur nge-fan, katanya. Wah, jadi tersanjung dan semangat lagi.
Hari ini saya main 90 sesuai handycap saya yang 18 (birdie di hole 1 dan 8) dan Pak Sim mainnya jelek; menang Rp 160.000. Lumayan, pas untuk bayar green fee. Maaf Pak Sim, next time better ya.

Beberapa acara penting minggu ini antara lain:
- Meeting dengan Ibu Betti Alisjahbana (Founder & CEO QB creative, wakil ketua Dewan Riset Nasional) dan Bapak Sumaryanto Martosudarmo Ph.D (Kepala Pusat Pelayanan Teknologi - BPPT Enjiniring), urusan transformasi Teknologi menjadi Industri.
- Meeting dengan Bapak Teguh Budiyana dan Prof. Kusumo, urusan per"sapi"an
- Meeting Asosiasi Produsen Alkes Indonesia
- Menghadiri FGD Incubator Industri & Bisnis di ITB
- Meeting dengan Setiawan (founder bukukita.com), urusan pengembangan bisnis bukukita.com

Berbagai kegiatan tersebut sebenarnya akan ringan-ringan saja seandainya sekretaris yang baru saja saya angkat tidak meninggalkan saya untuk mengambil lokakarya di LPPM.

Minggu, 15 Maret 2009

Hati-hati dengan win-win solution - jawaban komentar

Juli menulis : "Bun, I thought Po do djo yo nyo itu sama sama kuatnya...bukan sama sama menangnya...makanya berdua mati...The Win win situation is not battling but negotiating..."
Toni menambahkan: "Very good comment :-))"

Sebetulnya posting tentang "win-win" saya tulis sebagai lelucon untuk mengkritisi orang-orang yang sering bilang "win-win" tapi pada hakekatnya tidak memahami bahwa 'win-win" adalah bagian dari sebuah rangkaian proses, seperti halnya "podo joyonyo".

"Win-win" bisa terjadi bila kita terlebih dahulu " seek first to understand than to be understood" dan "win-win" mencapai tujuannya bila hasilnya adalah "sinergy".

Sedangkan "podo joyonyo" berawal dari "Data sawala" (saling berselisih), yang karena "pada jayanya" (sama unggulnya) maka berakhir dengan "maga batanga" (mati bersama) atau seri (draw), dalam bahasa Jawa disebut "jugar".

Baru-baru ini terjadi perselisihan antara Bank Danamon dengan PT Elnusa mengenai transaksi derivative. Karena PT Elnusa cukup kuat dan di back-up oleh pemerintah maka PT Elnusa membawa perkara ini ke Pengadilan (on court). Akhirnya Bank Danamon memilih damai (off court settlement).
Terhadap nasabah lain (yang jauh lebih lemah), transaksi semacam itu langsung dieksekusi. Nasabah tersebut tidak berdaya sama sekali.

Perselisihan antara Salim Group lawan PT Garuda Pancaarta (Makindo Group), keduanya sama kuatnya, dalam sengketa Sugar Group sudah sekian lamanya (on court) tidak kunjung selesai.

Pada prakteknya, solusi "win-win" sebagaimana yang digagas oleh Stephen Covey sulit sekali terjadi apabila kedua belah pihak tidak memahami bahwa "win-win" adalah bagian dari sebuah rangkaian proses.

Sabtu, 14 Maret 2009

Hati-hati dengan win-win solution

Berpikir "win-win" dipopulerkan oleh Stephen Covey dalam bukunya "7-habits of highly effective poeple" - yang diterbitkan lebih dari 10 tahun yang lalu, sebagai salah satu habit yang perlu dikembangkan untuk mencapai sinergy.

Saya teringat ketika itu saya tersenyum dalam hati.
Pikiran saya melayang, kalau saja Stephen Covey itu orang Jawa pasti dia tidak akan menuliskan habit ke-5 tersebut. Bayangkan saja, dalam bahasa jawa win-win itu diterjemahkan sebagai "podo joyonyo" (sama-sama menang).
Nah, dalam penulisan aksara Jawa, "podo joyonyo" adalah kalimat ke-3 yang diteruskan dengan kalimat ke-4 yang bunyinya "mogo botongo" (menjadi mayat alias mati).

Saya pikir bagi orang Jawa (atau juga orang Indonesia), lebih tepat mengganti "win-win" dengan "menang tanpa ngasorake" alias menang tanpa membuat lawan (atau mitra) merasa di"kalah"kan.

The fortune at the bottom of the pyramid

Judul tersebut di atas adalah judul buku karangan C.K. Prahalad, terbitan Wharton School Publishing pada tahun 2004.

Dalam buku tersebut Prahalad mencoba memberikan inspirasi kepada para pengusaha untuk memperhatikan pasar (konsumen) dari golongan masyarakat miskin yang merupakan golongan terbesar (bagian bawah sebuah bangun piramid) dari struktur masyarakat di negara berkembang.
Pengusaha perlu berpikir untuk menciptakan produk-produk yang harganya terjangkau oleh masyarakat miskin. Terutama produk-produk yang bisa diamanfaatkan untuk membantu mereka keluar dari berbagai keterbatasan yang membuat mereka sulit sekali keluar dari belenggu kemiskinan.

Bentuk paling nyata dalam kehidupanan di Indonesia adalah penggunaan ponsel oleh para pedagang keliling, dari tukang sayur sampai tukang permak levis, dengan sebuah ponsel mereka bisa dihubungi oleh pelanggan yang membutuhkan mereka.

Sisi negatip dari pemikiran Prahalad adalah terjadinya capital drain yang diakibatkan oleh sifat konsumerisme masyarakat.
Kalau dahulu masyarakat membuat sendiri shampo dari daun lidah buaya atau merang (sekam padi), sekarang tidak lagi karena ada shampo kemasan sachet yang harganya terjangkau.

Perlu sebuah upaya menciptakan masyarakat produktif yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Sehingga dengan demikian akan terbentuk sebuah kegiatan ekonomi tertutup (close loop economy) untuk mencegah capital drain, sekaligus memungkinkan terjadinya "saving" sebagai sumber modal bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat itu sendiri.

Rabu, 11 Maret 2009

The Black Swan

Sudah sebulan ini saya membaca buku karangan Nassim Nicholas Taleb dengan judul di atas.
Sebuah buku yang membahas tentang berbagai peristiwa acak dan tidak terduga dalam kehidupan umat manusia (atau kita pribadi). Peristiwa yang berdampak amat besar; nyaris mustahil dapat diprediksi; namun setelah terjadi, kita selalu berusaha merasionalisasinya.

Kecenderungan untuk merasionalisasikan berbagai peristiwa telah membuat manusia modern cenderung mengikuti arus; menjadi Platonis, yaitu orang yang berfokus pada "bentuk-bentuk" yang murni dan terdefinisi dengan baik. Padahal apabila kita mau mengabaikan hal-hal yang ada dalam bentuk (struktur) baku, kita akan melihat berbagai peristiwa acak (di luar struktur), yang seolah tidak berhubunganan satu dengan lainnya tetapi justru menjadi pertanda akan munculnya Black Swan (peristiwa besar yang nyaris tidak diprediksi).

Kepekaan terhadap berbagai peristiwa acak akan membuat kita berhenti berusaha memprediksi segala sesuatu dan membawa kita menemukan beberbagai oportunity yang muncul dari berbagai ketidak-pastian.

Buku yang sangat menarik bagi entrepreneur atau calon entrepreneur untuk membuat terobosan, keluar dari kerumunan (breaking the pack) serta memecahkan kebekuan (status quo) yang selalu coba dipertahankan oleh para pemain lama.

Senin, 09 Maret 2009

BI rate turun (3) : Sisi negatipnya

Perubahan BI Rate biasanya langsung dipakai sebagai acuan bunga simpanan yang dijamin oleh Pemerintah (LPS). Selanjutnya, besaran bunga yang dijamin tersebut dijadikan sebagai batas atas (bunga maksimum) yang diberikan oleh Bank kepada para deposan atau penabungnya.
Secara nasional, setiap penurunan sebesar 1% pada besaran bunga simpanan akan mengakibatkan penurunan jumlah bunga yang diterima oleh masyarakat (deposan/penabung) sebesar sekitar Rp 15 Trilyun dalam kurun waktu satu tahun ke depan.
Ini berarti ada potensi turunnya daya beli masyarakat yang secara otomatis akan mengurangi konsumsi masyarakat.

Selama ini pertumbuhan ekonomi Indonesia bersumber pada peningkatan konsumsi nasional dan ekspor.
Di tengah terus menurunnya nilai ekspor nasional, jelas bahwa turunnya konsumsi nasional akan berpengaruh negatip pada sektor industri pengolahan

Penurunan BI Rate adalah kebijakan populis untuk memenuhi desakan para pengusaha (yang terjebak kredit macet) dan politisi (yang selama ini berseberangan dengan pemerintah) serta sifat latah, ikut-ikutan negara maju (Amerika, Jepang dan Eropa) dan text book thinking. Jauh dari pertimbangan rasional apalagi yang berpihak pada rakyat.

The Power of Imaginary Regret

Judul tersebut digunakan oleh Mario Teguh dalam acara Mario Teguh - The Golden way yang disiarkan oleh Metro TV kemarin petang.
Dijelaskan bahwa penyesalan yang mendalam bisa menjadi awal dari perubahan kehidupan kita.
Dengan penyesalan yang mendalam, pada hakekatnya kita secara sungguh-sungguh dan sepenuh hati berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan masa silam. Itulah awal dari proses seseorang untuk berubah menjadi manusia baru.

Kalau kita amati, orang cenderung terlalu mudah untuk meminta maaf secara berulang untuk satu kesalahan yang sama. Orang cenderung terus saja berkubang dalam kehidupan lamanya yang makin lama makin membelenggu dirinya sehingga akhirnya menjadi status quo. Tanpa disadari begitu banyak waktu telah terbuang sehingga akhirnya justru orang menyesal karena tidak sejak dahulu menyesali kesalahan dirinya.

Saya ingin menambahkan bahwa diperlukan "cinta" agar seseorang rela secara sadar menyesali perbuatannya. Penyesalan yang mendalam justru tidak perlu permintaan maaf sebagaimana kata Eric Segal dalam novelnya yang berjudul Love Story, Love means never having to say you are sorry.

Minggu, 08 Maret 2009

BI rate turun (2) : Non Performing Loan (NPL) meningkat

NPL adalah nama keren dari Kredit macet Perbankan.
Makin memburuknya perkembangan ekonomi dunia sudah dapat dipastikan berimbas pada perekonomian Indonesia yang pada gilirannya akan menimbulkan kesulitan bagi dunia usaha di Indonesia.

Wujud nyata dari kesulitan tersebut akan tercermin pada turunnya kemampuan perusahaan-perusahaan dalam membayar bunga dan pokok pinjaman sesuai schedule yang telah ditetapkan. Kondisi ini apabila berlarut-larut akan menyebabkan perusahaan dinyatakan gagal bayar (default) dan kreditnya dinyatakan macet.

Sektor-sektor usaha yang paling menderita adalah:
1. Sektor perkebunan karena turunnya harga-harga komoditas dan turunnya volume permintaan global.
2. Sektor industri yang berorientasi ekspor karena turunnya permintaan global
3. Sektor pertambangan (migas dan batubara) karena turunnya harga minyak dunia
4. Sektor properti dan industri barang-barang konsumsi karena turunnya daya beli masyarakat.

Berikut ini adalah ilustrasi betapa seriusnya ancaman kredit macet.
Saat ini, lebih dari 50% kapitalisasi di sektor perkebunan (didominasi oleh perkebuanan kelapa sawit) dibiayai dengan kredit perbankan. Total kredit yang disalurkan diperkirakan sudah di atas 10% dari total kredit yang disalurkan secara nasional.
Dengan tingkat bunga pinjaman yang berlaku saat ini, beban bunga pinjaman telah mengambil porsi hampir 50% dari hasil (pendapatan) kotornya. Akibatnya, sudah ada beberapa nasabah yang gagal mengangsur pokok pinjamannya.
Bank Mandiri beberapa hari yang lalu telah melakukan restrukturisasi (rescheduling angsuran) portofolio kreditnya senilai Rp 3 T.

Melihat sulitnya menurunkan suku bunga kredit perbankan maka dapat diperkirakan akan terjadi gelombang kredit macet yang pada gilirannya meningkatkan lagi suku bunga kredit atau bahkan bangkrutnya perbakan nasional sebagaimana yang terjadi pada krisis keuangan 1997 yang lalu.

BI rate turun (1) : Mengapa bunga kredit belum turun?

Mengikuti azas transparansi semestinya Bank memberikan penjelasan mengapa sampai dengan saat ini Bank belum menurunkan bunga pinjaman kepada nasabah. Padahal BI rate sebagai acuan bunga simpanan telah beberapa kali diturunkan.
Beberapa besaran pokok yang membentuk suku bunga pinjaman adalah:
1. Bunga simpanan yang dijamin oleh LPS, saat ini sekitar 7% (sedikit dibawah BI rate)
2. Loan to Deposite Ration (LDR), saat ini rata-rata nasional 75%
3. Tingkat Non Performing Loan (NPL), saat ini rata-rata nasional 3%
4. Biaya administrasi dan umum, saat ini rata2 nasional 2%
5. Margin keuntungan, kira-kira 1 - 3%
Besaran tersebut bisa berbeda dimasing-masing Bank. Tapi apabila kita mengacu pada besaran rata-rata nasional sebagaimana di atas maka spread (beda antara bunga pinjaman dengan simpanan) tidak bisa lebih rendah dari 6 - 8%. Itu artinya suku bunga pinjaman tidak mungkin lebih rendah dari 13%.
Walaupun BI rate (acuan bunga simpanan) diturunkan tetapi karena besaran-besaran lain cenderung meningkat maka tidak mungkin Bank bisa menurunkan suku bunga pinjamannya.

Sabtu, 07 Maret 2009

Presiden semestinya tahu......

Tulisan-tulisan mengenai ITIB memberi jawaban dari pertanyaan mengapa Indonesia gagal melakukan industrialisasi.
Industri dibangun tanpa akar sehingga mempunyai ketergantungan (permanen) pada para pemasoknya. Industri-industri besar (canggih)dibeli dan dibangun dengan sistim turn-key (dan mark-up) sehingga nilai-tambah (keuntungan) terbesar justru diambil (lebih dahulu) oleh pemasoknya; dan agar supaya industri tersebut menguntungkan (pengusahanya) maka pemerintah dipaksa (dengan KKN) untuk memberikan proteksi. Lagi-lagi rakyat dikorbankan, dipaksa membeli hasil industri dengan harga mahal.
Industri semacam itu, cepat atau lambat pasti akan menjadi layu (bangkrut).

Proses pe'layu'an industri Indonesia telah berlangsung selama tiga tahun terakhir ditandai dengan pertumbuhan yang rendah (dibawah pertumbuhan nasional).
Penurun ekspor (non migas) sebesar lebih dari 30% pada bulan Januari 2009 adalah bentuk nyata dari gejadi terjadinya deindustrialisasi.

Kalau Presiden bisa ditipu dengan blue energy atau super toy, sudah dapat dipastikan bahwa Presiden tidak mengerti tentang ITIB.

Jumat, 06 Maret 2009

Membangun Industri berbasis IPTEK (3)

Pemahaman tentang Industri berbasis Iptek membuat kita sadar bahwa rangkaian ITIB tidak mungkin dilakukan oleh satu institusi saja. Diperlukan suatu kolaborasi antara Perguruan Tinggi (sebagai sumber Ilmu Pengetahuan) dan Industri / Bisnis.
Dengan demikian Teknologi yang dikembangakan (dari Ilmu Pengetahuan) sesuai dengan kemanmpuan Industri serta memenuhi kebutuhan Bisnis.
Seringkali terjadi, Perguruan Tinggi mengembangkan Teknologi hanya berdasarkan oportunity (Bisnis) belaka, tanpa melihat apakah ada industri yang mampu dan mau melakukan fabrikasi. Akibatnya Teknologi yang sudah dengan susah payah ( dengan mengorbankan waktu dan biaya) dikembangkan menjadi mubazir.
Sebaliknya, pelaku bisnis sulit sekali mengakses sumber-sumber Ilmu Pengetahuan (Perguruan Tinggi)karena ke'angker'an yang ditampilkan oleh Perguruan Tinggi.
Akibatnya, semua jalan sendiri-sendiri yang pada akhirnya menghasilkan stagnasi pertumbuhan sektor insustri sebagaimana telah dijelaskan pada uraian sebelumnya (1).
Mengingat pentingnya pengembangan sektor Industri di Indonesia, tentunya kondisi tersebut tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Harus ada langkah terobosan yang bisa memecahkan kebekuan tersebut.

Membangun Industri berbasis Iptek (2)

Dasar pemikiran rangkaian ITIB adalah bahwa segala sesuatunya berasal dari Ilmu Pengetahuan, yang kemudian ditransformasikan menjadi Teknologi sehingga bisa diaplikasikan menjadi sesuatu yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Salah satu contoh yang mudah dimengerti adalah mengubah tenaga air menjadi tenaga listrik. Dasar Ilmu Pengetahuannya diambil dari hukum Newton, E = m.g.h (tenaga potensial air) yang dikonvesikan menjadi energi listrik dengan menggunakan turbin air dan generator listrik.
Kemudian agar supaya Teknologi tersebut memenuhi syarat ke'ekonomi'an (feasible), perlu ditansformasikan lebih lanjut menjadi Industri (fabrikasi) untuk menghasilkan komoditi yang bisa dijual sehingga pada akhirnya menjadi sebuah kegiatan Bisnis.
Nah, rangkaian tertutup terjadi apabila keuntungan dari Bisnis tersebut digunakan lagi untuk menambah Ilmu Pengetahuan.
Dengan demikian akan terbentuk sebuah Industri (Bisnis) yang berbasis Iptek yang semakin lama semakin canggih dan bernilai-tambah tinggi

Selasa, 03 Maret 2009

Membangun Industri berbasis Iptek (1)

Selama ini Bangsa Indonesia masih berpikir bahwa Teknologi dikuasai oleh negara maju (Amerika, Jepang dan Eropa) sehingga untuk membangun industri kita perlu mendatangkan (membeli) teknologi atau mengundang investor asing dengan harapan terjadi transfer teknologi.

Sayang, setelah 40 tahun ternyata Industri yang dibeli tidak bisa menjadi benih yang subur karena pada kenyataannya industri tidak berkembang biak. Demikian juga halnya dengan harapan terjadinya transfer teknologi, kenyataannya jauh panggang dari api.

Kebangkitan Taiwan, Korea Selatan, Cina dan terakhir India tidak juga menyadarkan Bangsa Indonesia bahwa persepsi tersebut di atas tidak benar. karena nyata-nyata di negara-negara tersebut, industri berbasis Iptek bisa berkembang-biak dengan subur sehingga bisa menjadi soko-guru ekonomi.

Kegagalan di Indonesia dan keberhasilan di Taiwan, Korea Selatan, Cina dan India membenarkan sebuah hipotesa yang mengatakan bahwa Industri semesti adalah menjadi satu mata rantai dari siklus tertutup dari: Ilmu Pengetahuan --> Teknologi --> Industri --> Bisnis (ITIB).
Hipotesa tersebut dikutip dari sebuah esai yang ditulis oleh Y.B Mangun Wijaya (Romo Mangun).
Jadi apabila kita mempunyai obsesi membangun Industri berbasis Iptek, sudah semestinya kita berupaya agar rangkaian siklus ITIB terbentuk.

Ekspor Indonesia turun 36%

Akhirnya kemarin BPS mengumumkan ekspor Indonesia pada bulan Januari 2009 turun sebesar 36,08% terhadap Januari 2008 atau turun 17,7% terhadap Desember 2008.
Pengumuman ini memang ditunggu-tunggu setelah Jepang dan China mengumumkan penurunan ekspornya masing-masing sebesar 45% dan 17%.
Karena porsi ekspor adalah sebesar 25% dalam pembentukan PDB indonesia, maka pengaruh penurunan ini akan berdampak pada penurunan konsumsi (daya beli) domestik sebesar kira-kira 10% sehingga secara agregat ekonomi Indonesia berkontraksi sebesar kira-kira 15 - 16,5% terhadap Januari 2008.

Fakta tersebut perlu dicermati dengan seksama karena cepat atau lambat akan mempengaruhi aspek ekonomi (penghasilan dan oportunity)masyarakat yang pada gilirannya akan merambat ke aspek-aspek lainnya.
Masyarakat perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi kondisi terburuk yang mungkin terjadi karena angka-angka tersebut masih akan terus memburuk.

Sayang sampai dengan saat ini pemerintah masih 'ja-im' dengan bersikap optimis, padahal semestinya pemerintah mengingatkan masyarakat seraya mengajak masyarakat untuk bersama-sama menghadapi krisis yang jelas-jelas telah mulai melanda Indonesia.

Senin, 02 Maret 2009

Ka'adal faqru na ya suna qufron

Mohon maaf kalau tulisannya kurang tepat. Sebenarnya saya mau nulis langsung pakai bahasa Arabnya tapi karena komputer saya belum di set-up untuk aksara Arab jadi di Indonesiakan. Tapi yang penting esensinya tidak hilang, keadaan fakir menjadikan orang menjadi kufur.

Kalimat tersebut baru saja ditulis oleh Rina Suci di wall face book saya.
Langsung pikiran saya teringat bahwa kalimat tersebut pertama kali saya baca pada sekitar tahun 1995 di harian Republika (kalau tidak salah) dalam kolom Basofi Sudirman yang kala itu menjabat Gubernur Jawa Timur.
Saya membacanya di pesawat Garuda dalam perjalanan Jakarta - Yogya dan langsung memberikan inspirasi bagi saya yang sedang memikirkan bagaimana caranya mengusahakan SDM yang dapat dipercaya (jujur). Ternyata sangat mudah, hanya dengan membuat mereka lepas dari ke'fakir'an maka kita bisa berharap orang menjadi takut kepada Tuhannya.

Sesampainya di kantor langsung saya gelar rapat dan saya tugaskan kepala HRD untuk meluncurkan semacam 'inpres karyawan tertinggal' (pada saat itu Pak Harto sedang menggalakan Inpres desa tertinggal).
Hasilnya?..luar biasa!!. Walaupun karyawan terus bertambah management tidak direpotkan untuk melakukan pengawasan. Sampai-sampai management bahkan tidak perlu melakukan pencatatan apapun karena bisa berasumsi bahwa semua orang (karyawan) baik adanya, tidak ada yang menyalah-gunakan jabatannya.

Suatu kiat penghematan biaya yang luar biasa yang pada gilirannya dapat digunakan untuk memperbaiki tingkat pendapatan karyawan serta tercapainya sebuah struktur organisasi yang 'agile'.

Dengan sedikit menggali, ditemukan berlian yang sebetulnya terpendam tepat di bawah kita berdiri. Diperlukan kesadaran untuk bisa mendaya-gunakan banyak hal yang pada hakekatnya telah kita miliki.

Minggu, 01 Maret 2009

Mengatasi kemiskinan, membangun generasi baru

Beberapa waktu yang lalu, seorang karyawan yang telah bekerja selama 28 tahun menghadap direktur. Jabatan terakhir sang karyawan adalah kepala gudang tapi pada hakekatnya juga sebagai tukang packing merangkap tukang bongkar-muat barang hasil produksi.
Saya masih ingat ke-papa-an sang karyawan pada waktu melamar kerja. Sebagai seorang ex Tapol yang saat itu dihindari banyak orang, selain miskin juga sangat terbatas peluangnya untuk mendapat kehidupan yang layak.
Maksud sang karyawan menghadap direktur adalah untuk pamit sehubungan dia akan pensiun serta melaporkan apa-apa saja yang diperoleh selama dia bekerja.
Mengharukan sekaligus membanggakan, dia melaporkan bahwa dari hasil kerjanya selama ini telah berhasil membiayai pendidikan dua orang putranya sehingga lulus sarjana dan saat ini telah bekerja. Lebih jauh lagi dia juga melaporkan bahwa dari kesempatan yang diberikan oleh perusahaan untuk menjadi sub-kontraktor (yang dikerjakan oleh keluarganya)selama lima tahun terakhir, dia telah berhasil membeli secara tunai sebuah mobil Toyota Avanza.
Wow...telah lahir generasi baru yang tidak miskin.
Cerita di atas menyimpulkan bahwa pada hakekatnya kemiskinan hanya bisa dihapus secara permanen apabila kita bisa membangun generasi yang tidak miskin, sebuah generasi yang mempunyai kehendak bebas (sebagai sarjana). Kemiskinan tidak bisa diatasi dengan program-program ad hoc yang bersifat sporadis sesaat.
Cerita di atas bukan cerita fiktif.

Memahami kemiskinan

Berbeda dengan di Bangladesh dimana kemiskinan disana adalah kemiskinan absolut, warga miskin disana bisa dikatakan tidak mempunyai kemampuan ekonomi sama sekali.
Sedangkan di Indonesia, dengan kelimpahan sumber daya alamnya, kemiskianan disini adalah kemiskinan relativ. Orang masih dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya hanya dengan memanfaatkan alam disekitarnya.
Isu kemiskinan muncul ketika 'nilai ekonomi' dari hasil memanfaatkan alam tersebut secara relativ terus menurun jika dibandingkan dengan 'nilai ekonomi' dari kegiatan-kegiatan modern seperti industri, perbankan, telekomunikasi, transportasi, property dll.
Sebagai gambaran, produktivitas petani padi di Jepang tidak berbeda jauh dengan di Indonesia, kira2 10 Ton beras/ha/tahun. Yang berbeda adalah, di Jepang rata-rata petani menggarap 2 ha sawah dengan harga jual beras Rp 25.000,-/kg sedangkan di Indonesia cuma 0,3 ha sawah dengan harga jual beras Rp 5.000,-/kg. Sehingga kalau nilai ekonomi petani Jepang adalah Rp 500 jt/tahun sedangkan petani Indonesia cuma Rp 15 jt/tahun.
Nilai ekonomi petani Jepang tsb tidak berbeda jauh dengan nilai ekonomi sektor lain. Sedangkan nilai ekonomi petani Indonesia sangat jauh tertinggal dari kegiatan sektor lain. Misalnya dengan sektor industri yang besarnya Rp 50 jt (industri kecil) s/d Rp 600 jt (industri multi nasional).
Jelas bahwa ilmunya M.Yunus tidak bisa diimplementasikan di Indonesia

Sosial entrepreneur

Kolom Periskop harian Seputar Indonesia (Sindo) hari ini mengambil topik "Kewirausahawan sosial, solusi atasi kemiskinan". Isinya mengutip pemahaman dan kiprah dari Ashoka (Ashoka.org).

Mungkin untuk negara yang jumlah persentasi kemiskinannya rendah (<1%) sosial entrepreneur efektif untuk mengatasi kemiskinan,tetapi untuk negara yang tingkat kemiskinannya masif (>10%) seperti Indonesia, social entrepreneur sama sekali tidak terbukti efektif untuk mengurangi jumlah penduduk miskin. Yang justru terbukti adalah orang (wirausaha sosial) yang sukses (?) dalam usahanya dengan mengeksploitasi kemiskinan itu sendiri. Kemiskinan dijadikan "komoditas" untuk mendapatkan proyek atau bantuan baik dari pemerintah maupun donor. But the poor still there.

Sebagai orang yang pernah 'miskin' (didefinisikan sebagai orang yang mempunyai tingkat keterbatasan yang jauh lebih besar dari tingkat keleluasaannya, atau dengan lain perkataan tidak memiliki 'kehendak bebas'), saya sangat yakin bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia bisa dikurangi atau bahkan dihapus sama sekali apabila kita (seluruh bangsa) mau memahami persoalan (keterbatasan) yang dihadapi oleh masyarakat miskin serta mempunyai keinginan yang tulus (political will) untuk membantu melepaskannya dari keterbatasan tersebut.

Program-program seperti subsidi pangan (pupuk, bibit, KUT), BLT dan stimulus berupa proyek padat karya pada hakekatnya justru melanggengkan kemiskinan itu sendiri.