Kamis, 21 Mei 2009

Jalan menjadi konglomerat. (4): Perlu pedoman usaha

Sering kali keberhasilan sebuah usaha dinilai dari kekayaan yang berhasil dikumpulkan oleh pemiliknya.
Dalam pergaulan, baik dengan sesama usahawan maupun dengan lingkungan sosialnya, sering kali yang ditanyakan adalah dimana tempat tinggalnya, apa merk mobilnya, apakah anaknya sekolah di luar negeri dan sebagainya dan sebagainya.
Semua pertanyaan tersebut pada hakekatnya digunakan untuk mengukur seberapa kaya diri seseorang.

Penilaian seperti itu tentu saja tidak sepenuhnya salah.

Dalam buku Never Ending Journey (NEJ) I, saya menceritakan betapa pada awal saya mengembangkan usaha (awal tahun 90-an), saya pernah sangat yakin dengan produk baru yang yang baru saja berhasil kami kembangkan. Begitu yakinnya sehingga saya memberikan type 318 pada produk tersebut. Saya memimpikan dari keberhasilan produk tersebut menembus pasar, saya akan bisa membeli mobil BMW type 318 yang saat itu sedang "in" dan menjadi salah satu mobil termewah.

Pada tahun 1991, dalam acara syukuran atas keberhasilan kami menyelesaikan bangunan pabrik permanen yang pertama, saya memberikan pengarahan kepada seluruh karyawan. Dalam kesempatan itu saya uraikan bahwa saya akan menggunakan "Trilogi pembangunan" sebagai pedoman pengembangan perusahaan di masa mendatang, yakni : Pertumbuhan yang berkelanjutan, Pemerataan hasil usaha dan Kestabilan / ketenangan dalam bekerja.

Keyakinan saya akan keberhasilan type 318 ternyata benar, tetapi saya batalkan niat membeli BMW 318. Saya memutuskan untuk membeli mesin CNC Lathe merk Takisawa bekas seharga Rp 100 juta, yang saya pikir akan jauh lebih berguna untuk berlanjutnya pertumbuhan usaha.

Perlu sebuah kesadaran bahwa keberhasilan usaha bukanlah semata-mata usaha kita sendiri sehingga kita bisa semaunya menggunakan keberhasilan tersebut untuk memuaskan diri kita sendiri.
Ada hal yang lebih utama yang harus didahulukan agar kepentingan yang lebih besar, yaitu konsisten pada pedoman usaha yang telah dicanangkan benar-benar dilaksanakan, bukan saja oleh para karyawan namun yang lebih penting adalah oleh pemimpin atau pemiliknya

Pada kenyataannya, pada tahun 1996 saya akhirnya bisa membeli BMW 530 yang lebih bergensi dari BMW 318, yaitu setelah kami berhasil menyelesaikan seluruh bangunan pabrik.

Tidak perlu "jaim". It's all just a matter of time.

Minggu, 10 Mei 2009

Jalan menjadi konglomerat. (3): Memilih bidang usaha

Seorang sahabat dalam komentarnya menulis:
"Bagaimana menurut anda orang2 yg seperti tidak putus berusaha, berupaya, ganti2 usaha, ikut trend yang lagi in. Banyak orang mengatakan orang sperti itu enterpreneur... saya sih tidak setuju, buat saya itu oportunis".

Dalam metafora menggunakan sebuah pesawat untuk menggambarkan sebuah usaha, orang yang gonta-ganti usaha pada hakekatnya sama dengan orang yang gonta-ganti pesawat.
Pergantian pesawat hanya bisa dilakukan saat masih di apron atau tempat parkir.
Di tempat inilah seorang entrepreneur memastikan bidang usaha yang akan ditekuni dan dibesarkannya.

Bak memilih pesawat, seorang pilot mencoba mengidupkan dan memanaskan mesin pesawat selama beberapa saat untuk meyakinkan dirinya bahwa mesin pesawat bisa menyala stabil, tidak mati-hidup sehingga merepotkan kelak, seraya menimbang-nimbang cara menanganinya nanti.
Seorang entrepreneur pun harus melakukan test pasar minimal selama 3 tahun untuk memastikan memang ada permintaan pasar yang berkelanjutan serta bisa diekplorasi lebih lanjut. Selama periode ini, seorang entrepreneur mempelajari karakteristik bidang usaha yang akan dijalaninya.

Pada tahap pemilihan bidang usaha ini sebagian (calon) wirausaha terlalu gegabah dalam menentukan bidang usaha yang dipilih. Dia tertipu oleh fenomena fatamorgana atau terbuai oleh teman-temannya (inner circle), yang sebetulnya tidak kompeten, yang memuji dan mendorong dirinya agar terus maju, hanya oleh keberhasilan sesaat.
Sebaliknya, sebagian lagi (calon) wirausaha dengan serta-merta berganti bidang usaha begitu merasa usahanya lamban berkembang atau karena merasa usahanya kurang bergengsi.

Seorang (calon) entrepreneur, di satu sisi dia bersikap "dingin" menghadapi semua itu. Meminjam istilah yang sering diucapkan oleh Pak Harto, dia mesti "ojo kagetan, ojo gumunan dan ojo dumeh".
Sedangkan di sisi lain, dia mempunyai kegairahan (passion) sebagai perwujudan dari rasa syukur yang tak tehingga karena telah diberi kesempatan.