Senin, 27 April 2009

Jalan menjadi konglomerat. (2) : menuju landas pacu

Kesulitan utama yang dihadapi oleh usaha industri yang jenis produknya "bukan barang konsumsi sehari-hari" atau "bukan barang kebutuhan primer" adalah permintaan (demand) yang tidak stabil.
Untuk komoditi Peralatan Rumah Sakit, kesulitan tersebut ditambah lagi dengan sangat terbatasnya jumlah konsumen dan luasnya geografis Indonesia.

Karakteristik pasar tersebut sangat sulit diantisipasi oleh industri. Kegiatan produksi terpaksa dijalankan dengan sistim "make to order" yang tidak efisien karena produktivitas yang rendah.

Untunglah pada saat yang sama terjadi perubahan pasar Peralatan Rumah Sakit yang cukup dramatis.

Tanpa diduga dan dinyana, pada saat yang sama (paruh kedua tahun 80-an), pembangunan Rumah Sakit bergaya modern baru saja dimulai. Ini ditenggarai dengan dibangunnya beberapa Rumah Sakit Swasta modern seperti Rumah Sakit Metropolitan Medical Center (MMC), Graha Medika, Pondok Indah dan lain-lain.

Bersamaan dengan geliat pasar Pelayanan Kesehatan di sektor swasta, Pemerintah juga melaksanakan program pembangunan besar-besaran Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat dan Rumah Sakit Umum (Pusat dan Daerah) sepanjang akhir Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (Pelita-5, 1988 - 1993) untuk melengkapi program persiapan tinggal landas menuju PJPT II.

Sayangnya, booming permintaan Peralatan Rumah Sakit tersebut tidak serta merta dapat diantisipasi secara masif.
Beberapa kendala yang masih menggelayut, baik internal maupun eksternal banyak menyita waktu, biaya, tenaga dan pemikiran untuk mempersiapkan diri agar siap menangkap berbagai peluang yang muncul.

Persoalan internal baru bisa dikatakan selesai tuntas pada akhir tahun 1990 setelah selama hampir selama 3 tahun berada pada posisi "survival for the life". (baca Never Ending Journey, NEJ I).

Baru pada 1 Januari 1991, kami tepat berada di ujung landas pacu. Siap untuk memacu pesawat menyusuri run away untuk take off, terbang menembus mega.

Now, sky is the limit.

Minggu, 26 April 2009

Jalan menjadi konglomerat. (1) : Dipersimpangan jalan

Sebagai seorang yang mengawali usaha dengan modal pas-pasan, saya pernah merasakan betapa sulitnya mengembangkan usaha hanya dengan mengandalkan modal yang dimiliki sendiri.
Terlebih lagi jika tidak memiliki koneksi dengan pejabat pemerintah yang bisa membantu untuk medapatkan proyek atau pejabat Bank untuk mendapatkan pinjaman modal. Segala sesuatunya harus didapatkan dengan bekerja keras, mengerahkan semua kemampuan walau hasilnya hanya untuk sekedar bisa mempertahankan hidup.

Sampai suatu ketika, setelah berusaha selama kurun waktu 6 tahun (kira-kira akhir tahun 86), saya menyadari bahwa walaupun ada kemajuan usaha tetapi relatif tertinggal jauh bila dibandingkan dengan para pesaing. Saya menyadari bahwa dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki perusahaan, tidak mungkin usaha tersebut dikembangkan lebih lanjut.
Keadaan tersebut memnggelisahkan saya. Sampai suatu saat saya menyimpulkan bahwa saya harus segera banting setir karena setelah ditimbang-timbang, usaha sebagai pedagang Alat Laboratorium tidak mempunyai masa depan sebagaimana yang saya cita-citakan.
Saya bercita-cita menjadi konglomerat.

Untuk menjadi seorang konglomerat, diperlukan suatu bidang usaha yang mempunyai struktur yang bisa dikembangkan tanpa batas (sky is the limit). Dan pilihan yang paling mungkin adalah bidang industri. Alasannya adalah karena industri bisa dikembangkan mulai dari industri kecil bahkan mikro. Berbeda dengan bidang-bidang lain seperti property, perbankan, telekomunikasi dan lain-lain bidang yang padat modal.

Dengan pemikiran tersebut maka kegiatan usaha secara bertahap saya arahkan untuk mulai menjual produk industri yang diproduksi sendiri.
Ternyata upaya ini tidak mudah untuk dilakukan karena ada begitu banyak keraguan terhadap kemungkinan keberhasilan usaha baru ini dari para mitra usaha.

Kondisi tersebut membuat saya mengalami dilematis yang sangat berat. Di satu pihak saya berpikir bahwa saya hanya akan membuang waktu saja apabila saya meneruskan kegiatan usaha lama, sedangkan di pihak lain apabila saya bertahan pada obsesi menjadi konglomerat maka saya harus siap untuk berjalan sendiri.

Setelah membuat analisa yang mendalam terhadap kinerja masa lalu serta memperhitungkan berbagai kesulitan yang akan dihadapi bila saya berjalan sendiri, maka dengan tekad yang bulat saya memilih untuk berjalan sendiri.

Sabtu, 25 April 2009

Entrepreneur : (My) Character is (my) destiny (7)

Berbagai tulisan dalam "Charachter is destiny" dimaksudkan untuk memberikan ilustrasi yang menggambarkan bahwa untuk menjadi seorang entrepreneur tidak cukup hanya bermodalkan sifat-sifat dasar seperti rajin belajar, rajin bekerja, hemat, ulet dan sebagainya.
Sifat-sifat dasar tesebut hanya bisa diibaratkan sebagai warna dasar sebuah kanvas dan sama sekali tidak memberikan indikasi apakah seseorang potensial untuk menjadi seorang entrepreneur.
Sedangkan sosok entrepreneur diibaratkan sebagai lukisan, yang baru akan terbentuk oleh goresan demi goresan yang ditorehkan oleh sang pelukis.

Nilai sebuah lukisan tidak ditentukan oleh "keindahan" dari apa yang tergambar di atas kanvas, tetapi oleh kekuatan (daya magis) yang terpancar, yang mampu membawa pikiran orang yang melihatnya "mengembara" ke "tempat, waktu dan situasi" yang berusaha di tuangkan oleh sang pelukis di atas kanvas.

Demikian halnya dengan sosok seorang entrepreneur, dimana dan kapan pun dia berada akan selalu terpancar sebuah kekuatan (entrepreneurship) yang mampu memberikan inspirasi siapa pun orang yang berada di sekelilingnya.

Sebagaimana sebuah lukisan, gambarnya bisa apa saja, dari yang naturalis sampai yang abstrak bahkan yang hanya imajinasi sang pelukis sekali pun sebagaimana lukisanan "last supper"nya Leonardo da Vinci yang mengilhami Dan Brown untuk menulis Novel Davinci Code. Seorang entrepreneur tidak selalu identik dengan sosok seorang pengusaha (besar), dia bisa ditampilkan pengambil sosok seorang Bob Sadino, Tommy Winata, Bill Gate, Don Corleone (God father) atau bahkan sorang Yanto (pedagang Bakmi dengan gerobag dorong yang mangkal di depan kantor saya sejak lebih dari 20 tahun yang lalu).

Pengalaman saya sepuluh tahun yang lalu ketika berkunjung ke Jepang untuk melihat beberapa industri "kecil" disana, memberikan pandangan yang beberbeda bagi seorang entrepreneur. Saya melihat banyak industri "kecil" yang telah berumur lebih dari 20 tahun tetapi tetap eksis ditengah tumbuhnya banyak raksasa industri seperti Toyota, Mitsubishi, Sony, National dan lain-lain.
Saya merasakan adanya pancaran kekuatan yang menjelaskan mengapa mereka masih bisa eksis walaupun tetap "kecil".
"Small but happiness" is the right words to explain why.

Entrepreneur : (My) Character is (my) destiny (6)

Mentor adalah salah satu faktor yang ikut membentuk karakter seseorang,
Biasanya ada lebih dari seorang mentor yang berpengaruh kuat pada seseorang. Mentor bisa saja seorang teman sekolah, mitra kerja, keluarga, mantan guru, pesaing usaha atau bahkan figur imajiner yang tidak dikenal secara langsung namun dipercaya bisa dijadikan panutan.

Dalam kisah Mahabarata ada dikisahkan cerita tentang seorang ksatria yang besar sekali tekadnya untuk menjadi seorang ahli panah tapi terkendala untuk mendapatkan bimbingan dari guru yang hebat. Kendala tersebut tidak menjadikan Sang Ksatria kehilangan akal. Dia membuat patung Maha guru Dorna dan mulai belajar memanah dengan membayangkan kehadiran Sang Maha guru yang memberikan pelajaran dan instruksi pada dirinya. Singkat cerita, Ksatria tersebut akhirnya bisa menjadi ahli memanah bahkan mengalahkan Arjuna, murid kesayangan Sang Maha guru Dorna.

Kisah di atas menjelaskan adanya hubungan batin, walau secara imajiner sekali pun agar seseorang bisa mengambil manfaat dari Sang Mentor. Tanpa hubungan tersebut, walau dibimbing oleh seorang Master sekali pun, seseorang tidak akan mendapatkan manfaat optimum dari Sang Mentor.

Salah satu pelajaran menarik sebagai seorang wira-usaha didapat pada awal usaha formal saya sebagai pemasok Peralatan Laboratorium di awal tahun 80-an. Usaha ini pada dasarnya tidak lebih dari pada usaha "catut-mencatut", modal utamanya adalah kepercayaan untuk mendapatkan hutang (credit term, biasanya 30 hari) dari sumber barang (importir, agen tunggal). Harga jual biasanya sesuai dengan price list yang dikeluarkan oleh sumber barang dan keuntungannya adalah sebatas diskon yang diberikan, umumnya sebesar 10%.

Suatu ketika saya sangat gembira karena berhasil mendapatkan order yang lumayan besar dari seorang Om (paman) yang datang dari daerah untuk membeli sebuah alat. Harga jual telah disepakati sesuai dengan price list. Namun, sebagaimana kata peri bahasa, untung tak dapat diraih dan malang tak dapat diraih, saat waktu transaksi tiba tak dinyana dan diduga Si-Om membatalkan pembelian tersebut. Dengan enteng Si-Om bilang bahwa dia telah membeli alat tersebut di Glodog dengan diskon 5%.
Tentu saja saya sangat kecewa, bukan saja karena kehilangan kesempatan mendapat untung dari transaksi itu tapi juga karena harus membayar pembelian barang tersebut yang nilainya nyaris menghabiskan saldo uang di Bank.

Si-Om tersebut adalah seorang pengusaha yang sukses, tapi tentu saja tidak layak dijadikan sebagai seorang Mentor.

Senin, 20 April 2009

Entrepreneur : (My) Character is (my) destiny (5)

Kasus "Cerobong Asap Palsu" adalah perkara perseteruan antara dua orang yang bersebelahan rumah.
Kisahnya terjadi di Eropa, dimana pada umumnya rumah disana memiliki cerobong sebagai saluran untuk mengeluarkan asap dari tungku perapian yang digunakan sebagai penghangat ruangan pada saat musim dingin tiba.

Karena merasa kesal dengan tetangga sebelah rumah, seseorang dengan sengaja membuat cerobong asap palsu di bubungan atap rumahnya. Posisi cerobong asap tersebut diatur sedemikian rupa sehingga pada saat matahari terbit, bayangan cerobong asap tersebut tepat jatuh pada jendela kamar pemilik rumah tetangganya.
Tujuan pemasangan cerobong asap palsu tersebut adalah agar supaya tetangganya tidak bisa lagi menikmati sinar matahari pagi musim panas yang sangat dibutuhkan untuk kesehatannya.

Tentu saja tetangga tersebut marah dan merasa dirugikan. Segala upaya untuk meminta agar cerobong asap tersebut dipindahkan tidak berhasil karena tetangganya berargumen bahwa dia mempunyai hak dan kebebasan untuk memasang cerobong asap di bagian mana pun juga di atap rumahnya sendiri.

Akhirnya kasus ini dibawa ke pengadilan setempat.
Pada amar keputusannya, hakim memutuskan untuk mengabulkan permohonan pembongkaran cerobong asap palsu tersebut.
Dasar dari keputusan tersebut adalah hukum "kepatutan". Kepemilikan atas property tidak serta-merta memberikan hak pada pemiliknya untuk menggunakan property tersebut dengan sesuka hatinya, apalagi kalau penggunaan tersebut merugikan orang lain.

Beberapa tahun yang lalu saya mengalami sendiri kejadian yang mirip kasus tersebut.
Dan saya sangat bersyukur karena ingatan pada kasus tersebut telah membuat saya dengan ringan hati memenuhi tuntutan seorang petani yang merasa dirugikan karena kami membangun pabrik tepat di sebelah sawah yang digarapnya.
Lokasi pabrik kami memang "mewah" alias "mepet sawah", sehingga setiap bangunan yang kami dirikan berakibat menghalangi sinar matahari yang sangat dibutuhkan untuk padi yang ditanam di sawah tetangga. Kekurangan porsi sinar matahari ini berakibat fatal karena menyebabkan padi tumbuh tidak sebagaimana mestinya dan petani penggarap dirugikan karena hasil panennya tidak optimum.

Bisa saja saya bersifat arogan sebagaimana yang dikalukan oleh pembuat cerobong asap palsu. Tapi saya memilih untuk mematuhi keputusan hakim.

Minggu, 19 April 2009

Entrepreneur : (My) Character is (my) destiny (4)

Tekad saya untuk tidak mencuri informasi dari pesaing dengan cara yang tidak sah ternyata tidak mudah untuk dilaksanakan.
Tantangan paling besar datang sekitar akhir tahun 80-an.
Sebagai pelaku industri pemula, selain tidak mempunyai kemampuan teknis untuk menciptakan produk sendiri, modal perusahaa pun sangat terbatas.

Saat memulai industri Peralatan Rumah Sakit (Hospital Furniture), kami menempuh jalan pintas. Tanpa pikir panjang, kami meniru (copy cat) mentah-mentah barang yang dibuat oleh produsen yang sudah ada.
Pada saat itu ATMI (Akademi Teknik Mesin Industri) - Solo adalah produsen utama Peralatan Rumah Sakit di Indonesia. Dan secara kebetulan 4 orang dari 6 orang pendiri perusahaan adalah alumni ATMI.
Dengan demikian bisa dibayangkan betapa mudahnya kami "mencuri" teknik pembuatan Peralatan Rumah Sakit yang notabene adalah produk yang selama mereka kuliah di ATMI adalah obyek kerja sehari-hari.

Pada awalnya ATMI tidak ambil pusing dengan tingkah alumninya tersebut. Mungkin karena mereka tahu bahwa dengan peralatan yang terbatas dan modal kecil, tidak mungkin kami mampu bersaing dengan mereka. Malahan mereka (mungkin secara tidak sadar) ikut membantu kami dengan bersedia menerima order dari beberapa bagian (suku cadang) yang belum dapat kami buat sendiri karena keterbatasan peralatan yang kami miliki.
Sampai suatu saat, kami mengalahkan ATMI dalam suatu Tender Pengadaan Peralatan Rumah Sakit pada satu instansi pemerintah. Tentu saja ATMI marah besar dan langsung kami diembargo secara total.

Saat mengetahui hal itu saya langsung teringat pada Cohen-Lindenbaum Arest.
Sungguh saya sangat menyesal dan malu atas perbuatan "kotor" yang telah kami lakukan tersebut. Hati nurani saya tetap tidak bisa menerima argumen bahwa perbuatan tersebut adalah wajar dilakukan oleh para pemula.

Penyesalan ini kami wujudkan dengan segera memulai melakukan rekayasa untuk membuat produk yang berbeda dengan produk ATMI.

Kalau saja saat itu kami tidak menyesal atau bahkan menepuk dada, bangga karena bisa mengalahkan ATMI maka mungkin ceritanya akan lain. Mungkin kami akan menjadi kerdil dibawah bayang-bayang ATMII.

Peristiwa di atas memberikan banyak pelajaran penting, diantaranya:
1. Betapa sulitnya memulai suatu usaha bagi para pemula.
2. Penyesalan membawa kita ke "jalan yang benar".
3. Tidak perlu menjadi berang bila ada orang yang meniru produk kita.
4. Pentingnya "continuos improvement" agar selalu beberapa langkah di depan.
5. Selalu sadar diri dan dengarkan kata hati nurani.

Entrepreneur : (My) Character is (my) destiny (3)

Pertanyaan yang seringkali timbul sehubungaan dengan karakter adalah. bila manakah karakter seseorang terbentuk?. Apakah karakter seseorang sudah ada sejak lahir?. Apakah bintang menentukan karakter seseorang?....seberapa jauh pengalaman hidup berpengaruh dalam membentuk karakter?...dan seterusnya....dan seterusnya.
Tulisan berikut tidak ditujukan untuk menjawab pertanyaan tersebut, karena akan menimbulkan polemik yang berkepanjangan.
Dalam serial Entrepreneur: To see the unseen, saya telah menceritakan bagaimana karakter dasar seseorang terbentuk. Pengalaman semasa kecil dan remaja telah memberikan warna dasar karakter seseorang.
Berikut ini saya akan menceritakan beberapa pelajaran dan pengalaman hidup yang begitu melekat sehingga membentuk gambar mozaik karakter seorang.

Walaupun kuliah di jurusan Elektro, namun saya sangat serius mengikuti mata kuliah yang sama sekali tidak berhubungan dengan ke-teknik-an.
Salah satu mata kuliah yang sangat saya nikmati adalah kuliah "Pengantar Ilmu Hukum" (PIH). Sampai sekarang (setelah lewat 35 tahun) saya masih ingat hampir semua pelajaran tersebut.
Salah satu topik kuliah yang sangat membekas adalah soal hukum kepatutan. Dosen PIH memberikan 2 buah contoh kasus untuk menjelaskan hukum ini. Yang pertama adalah Cohen - Lindenbaum Arest dan yang kedua adalah perkara cerobong asap palsu.

Dalam kasus pertama diceritakan bahwa Cohen adalah karyawan Lindenbaum yang mengundurkan diri dan kemudian bekerja pada saingan Lindenbaum. Dengan berlalunya waktu, Lindenbaum mengetahui bahwa Cohen telah membocorkan rahasia mereka pada tempat kerjanya yang baru. Karena merasa dirugikan, Lindenbaum menunutut Cohen di Pengadilan.
Perbuatan Cohen tersebut tidak melanggar hukum positip manapun. Tetapi hakim memutuskan Cohen bersalah karena telah melanggar hukum kepatutan. Akhirnya hakim membuat yurisprudensi dengan menetapkan bahwa Cohen bersalah dan menghukumnya.

Pelajaran ini sangat membekas dan selalu menjadi peringatan bagi saya untuk tidak melakukan pencurian informasi baik dari pengusaha lain maupun pesaing dengan cara yang tidak sah.
Selain itu juga memperingatkan saya untuk tidak menyalah-gunakan kedudukan (fasilitas ataupun kepercayaan) untuk tujuan apapun yang mungkin bisa merugikan mitra atau orang yang telah memberikan kepercayaan pada saya.
Pelajaran tersebut juga telah memberikan inspirasi bahwa ada banyak hal yang tidak terjangkau oleh hukum positip. Hanya dengan mengembangkan wisdom (kesadaran diri) dan hati nurani saja maka seorang wira usaha bisa menjadi seorang entrepreneur.

Minggu, 12 April 2009

Entrepreneur : (My) Character is (my) destiny (2)

Karakter (sifat) hemat, rajin bekerja, rajin belajar dan disiplin, sebagaimana yang diuraikan dalam serial tulisan "To see the unseen", pada dasarnya dimiliki oleh hampir semua orang.
Tidak peduli apakah dia seorang karyawan swasta, pegawai negeri sipil, tentara, polisi ataupun wira-usahawan; mereka semua memerlukan karakter dasar tersebut agar bisa menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya.

Namun kalau kita cermati lebih lanjut, walaupun mungkin memiliki karakter dasar yang sama, tidak semua tentara atau polisi bisa menjadi jenderal, tidak semua karyawan swasta ataupun pegawai negeri sipil bisa meniti karir hingga mencapai puncak (eselon 1 atau direktur). Diperlukan karakter seoarang jenderal dan direktur untuk mencapai puncak.
Demikian juga dengan para wira-usahawan, tidak semua mempunyai karakter entreprenur yang sangat diperlukan untuk dijadikan sebagai landasan bagi upaya-upaya mewujudkan visi usahanya.

Berbeda dengan profesi lain yang mempunyai struktur organisasi yang jelas, wira-usaha selain tidak mempunyai struktur yang jelas juga tidak ada batasnya (sky is the limit).
Sebagai contoh, 40 tahun yang lalu founding father Bakmi GM masih berjualan bakmi dengan gerobag dorong yang mangkal di daerah sekitar Jalan Gajah Mada, dengan total penjualan kira-kira sebesar Rp 100 j/tahun (nilai saat ini). Tetapi sekarang dengan lebih dari 10 outlet di mall=mall, penjualannya sudah lebih dari Rp 100 M/tahun.
Sebaliknya, ironis dengan keberhasilan Bakmi GM, kalau kita perhatikan keadaan di sekeliling kita, ada ribuan tukang bakmi yang telah bertahun-tahun menjalankan usahanya, sebagaimana founding father Bakmi GM, tetapi tetap saja tidak banyak berubah alias masih setia dengan gerobag dorongnya. Stagnan?.

Contoh tersebut, memberikan penjelasan bahwa diperlukan karakter entrepreneur untuk membangun sebuah usaha (besar).
Karakter entrepreneur ini hanya bisa didapat dari akumulasi pengalaman seorang wira-usaha dalam menjalankan usahanya, yang kemudian dijadikan sebagai pelajaran bagi dirinya dan kemudian secara berkelanjutan menggunakannya sehingga menjadi karakter yang melekat dalam dirinya dalam menjalankan (mengembangkan) usaha selanjutnya.

Karakter entrepreneur tidak mungkin dipelajari di bangku kuliah. So, let's do it....than we will get it....

entrepreneur : (My) Character is (my) destiny (1)

Judul tersebut adalah judul buku karangan John Mc Cain (Senator A.S yang juga Capres yang dikalahkan oleh Obama) dan Mark Salter.
Saya kutipkan sedikit dari kata pendahuluannya.

Kita bukan dilahirkan untuk menjadi sesuatu yang telah ditentukan, begitu saja mengikuti rencana perjalanan yang telah ditentukan oleh tangan gaib, atau tanpa daya ditarik bintang-bintang ke arah tertentu, kemudian mendatangkan kebahagiaan bagi sebagian orang dan kemalangan bagi orang lain.

Karakter kita akan menentukan hidup (nasib) kita

Tuhan memberi kita hidup, menunjukkan cara memanfaatkannya, tetapi membiarkan kita menyia-nyiakannya jika mau begitu. Karakter akan menentukan seberapa baik dan buruk pilihan kita.

Gagasan menulis tentang karakter muncul ketika kemarin (11 April 2009), sahabat saya menanyakan apakah setiap wira-usahawan bisa disebut sebagai entrepreneur.
Pertanyaan ini adalah salah satu topik obrolan sepanjang perjalanan dari Pondok Indah, menghadiri reuni Angkatan 15 (74) di lantai 30 Plasa Bumi Daya dan berakhir ngobrol sambil ngopi di Daily Bread cafe di Pondok Indah Mall. Dari jam 10.30 sampai dengan jam 16.30.

Topik tersebut menjadi sangat menarik setelah saya mengamati teman-teman kuliah yang rata-rata berumur 53 s/d 55 tahun.
Walaupun hanya dihadiri oleh 16 orang dari sekitar 140 orang angkatan 15, tetapi saya bisa melihat dengan jelas bahwa ada korelasi yang logis antara karakter dan capaian prestasi mereka selama 30 tahun selepas kuliah di Fakultas Teknik Jurusan Elektro Universitas Trisakti.

Sampai di rumah saya masih mencoba merenungkan apa jawaban yang paling tepat dari pertanyaan sahabat saya tersebut, sambil mengingat kembali meriahnya obrolan dengan teman-teman seangkatan.
Sebuah "blink" tiba-tiba muncul, tidak semua wira-usahawan bisa mempunyai predikat sebagai entrepreneur.

Seorang wira-usaha bisa disebut sebagai seorang entrpreneur, "jika dan hanya jika" dia memiliki karakter seorang entrepreneur.

Minggu, 05 April 2009

entrepreneur : To see the unseen (4)

Rangkaian 3 buah tulisan tentang entrepreneur sejatinya saya tujukan untuk menjelaskan bahwa menjadi entrepreneur pada hakekatnya adalah panggilan jiwa.
Hanya orang yang mampu memberikan arti (esensi) dari apa yang dialaminya (bangun pagi, mengumpulkan sisa minyak goreng dan menimba air) saja yang bisa mengambil manfaat untuk menggunakannya sebagai fondasi (mile-stone) bagi perjalanan hidupnya kelak.

Dalam keluarga saya, pengalaman masa remaja tersebut bukanlah monopoli saya sendiri. Adik-adik saya pun mengalami hal yang hampir sama, walaupun tentunya dengan intensitas yang berbeda.
Tetapi, nyatanya hanya saya saja dari 8 bersaudara yang memilih entrepreneur sebagai jalan hidup.

Melihat kenyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, asal-usul (keturunan) dan lingkungan hidup semasa usia remaja atau pun pemuda, tidak secara pasti menentukan apakah seseorang kelak bisa menjadi seorang entrepreneur.

Ayub dalam mengomentari To see the unseen (1) menanyakan bagaimana seorang ayah menjelaskan kepada anaknya yang masih berusia 13 - 16 tahun dan anaknya mau menaatinya. Trust, ya hanya trust saja jawaban yang pas.

Tulisan ini juga ditujukan untuk memberikan inspirasi bagaimana menjawab tantangan untuk mencari (melahirkan) 4.000.000 entrepreneur (baru) yang dibutuhkan oleh Indonesia sebagai prasyarat bagi terjadinya sustainable growth menuju negara Industri.
Diperlukan intrepreneur-intrepreneur yang mau menjadi mentor. Mentor yang memiliki kredibilitas sehingga bisa dipercaya (mendapatkan trust) para calon entrepreneur yang dibimbingnya untuk menjadi seorang entrepreneur.

Jaman telah berubah, entrepreneur seperti saya yang lebih tepat disebut sebagai "entrepreneur nobody's child, yang Just like a flower, growing wild" sudah semakin sulit untuk diharapkan akan muncul.
Tuntutan jaman dan lingkungan membuat orang menjadi tidak sabar sehingga kehilangan kepekaan atas berbagai oportuniti yang lewat dihadapannya serta malas atau tidak punya waktu untuk terus belajar.

Bila saja ada kesadaran dari setiap 400.000 entreprenur yang ada saat ini untuk mau menjadi mentor, maka hanya dengan menjadi mentor bagi 10 orang calon entrepreneur, suatu saat kebutuhan (lowongan) 4.000.000 entrepreneur baru akan bisa terpenuhi.

God bless Indonesia.

entrepreneur : To see the unseen (3)

Salah satu kebiasaan penting yang membekas dan berlanjut sampai dengan saat ini adalah kebiasaan bangun pagi.
Kebiasaan tersebut semakin menemukan esensinya bila dikaitkan dengan nasihat nenek saya yang setiap saat menganjurkan agar saya bangun pagi, bangun sebelum ayam berkokok, agar supaya rejeki yang diperuntukan bagi saya tidak didahului dipatuk oleh ayam-ayam yang setiap pagi mencari makan.

Sampai dengan saat ini, saya setiap hari masih bangun tidur pada pukul 4.30. Berangkat dari rumah ke kantor pada pukul 5.20 dan tepat pukul 6.00 saya tiba di kantor.

Dengan kebiasaan tersebut, sepanjang perjalanan saya tune-in radio Elshinta yang me-relay BBC London untuk mendengarkan berita-berita dunia, termasuk berita ekonomi, politik, olah raga, pelajaran bahasa Inggris dan kutipan head-line koran-koran yang terbit hari itu di Indonesia.
Seringkali, apabila lalu-lintas ramai dan pada pukul 6.00 belum tiba di kantor, saya masih sempat tune-in radio Heart-line untuk mendengarkan khotbah Pendeta Gilbert Lumoindong atau sedikitnya mendengarkan kata pengantarnya : "Kebahagiaan bukan karena mendapatkan apa yang tidak kita miliki tetapi kebahagiaan adalah mensyukuri apa yang sudah kita miliki". Sebuah kalimat yang hampir setiap pagi mengingatkan saya untuk selalu memikirkan apa yang bisa saya lakukan dengan apa yang saya miliki untuk kepentingan sesama.

Sesampai di kantor, saya tune-in SCTV yang menyiarkan Liputan-6 pagi untuk mendengarkan berita-berita dalam negeri sambil saya menikmati kopi dan membaca Media Indonesia, Sindo, Rakyat Merdeka dan Bisnis Indonesia. Liputan-6 pagi selesai pukul 6.30 dan dilanjut dengan "was-was" sampai dengan pukul 7.30, bertepatan dengan saat saya selesai membaca 4 koran tersebut.

Selesai menjalankan semua rangkaian ritual pagi tersebut, saya mulai bekerja dengan bekal hampir semua informasi yang terjadi selama 12 jam terakhir, termasuk infotaintment sebagai sumber inspirasi yang up to date untuk membuat berbagai keputusan bisnis.