Senin, 28 Desember 2009

Pembangunan Industri berbasis Riset dan Teknologi (2)

A creation by design and not by default


Siklus Industri

Penggambaran siklus Industri di bawah ini menjelaskan bahwa baik pengusaha maupun peneliti mempunyai peran dan lingkup kerja yang berbeda dan tidak mungkin untuk dicampur-adukan.


--> Ilmu pengetahuan --> Teknologi --> Industri --> Bisnis --> (kembali ke Ilmu Pengetahuan)


Siklus di atas menggambarkan sebuah proses spiral yang makin membesar, dimana Ilmu Pengetahuan ditransformasikan (didaya-gunakan) menjadi Teknologi (penggunaan praktis) oleh para Peneliti dan kemudian bersama-sama dengan Pengusaha (Industri) ditransformasikan lebih lanjut sehingga layak untuk difabrikasi (Industri) sehingga bisa dikomesialkan menjadi sebuah Bisnis yang selanjutnya, sebagian keuntungannya menjadi feed back untuk mengembangkan Industri dengan Teknologi yang lebih canggih.


Hubungan Lembaga Penelitian dengan Industri

Dari siklus di atas terlihat jelas bahwa hubungan langsung antara Lembaga Penelitian dengan Dunia Industri adalah dalam proses menjadikan sebuah (konsep) Teknologi menjadi sebuah produk yang bernilai komersial.
Dalam proses ini sedikitnya ada 3 tahapan yang harus dilalui, yaitu: 1. pembuatan prototype fungsional, 2. Pembuatan prototype komersial dan akhirnya, 3. Pembuatan prototype produksi.
Kemampuan dan semangat dari masing-masing pihak dalam melalui tahapan-tahapan tersebut akan sangat menentukan apakah komersialisasi sebuah Teknologi (hasil penelitian) dapat diwujudkan.
Sebagus apapun sebuah hasil penelitian tidak akan membawa manfaat ekonomi apabila tidak ada Industri yang mampu dan mau mengkomersialkannya.


Kondisi obyektif di Indonesia

Minimnya pemahaman akan siklus tersebut di atas mengakibatkan hampir seluruh hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian menumpuk dalam bentuk kertas kerja. Hasil penelitian tidak dapat diimplementasikan karena dilakukan tanpa terlebih dahulu meneliti kebutuhan obyektif dari dunia Industri.
Hal lucu yang kerap terjadi adalah sikap para peneliti yang menganggap hasil penelitiannya sebagai harta karun yang bernilai tinggi sehingga mereka cenderung untuk merahasiakannya serta menjaganya dari kemungkinan usaha pencurian oleh para pengusaha Industri.
Sikap seperti itu tentu saja membuat para pengusaha Industri enggan berhubungan dengan Lembaga - lembaga Penelitian. Mereka lebih senang membeli industri secara turn-key pada para provider industri di Jepang, Taiwan, Korea Selatan maupun Cina. Dengan demikian, Siklus industri tidak pernah terbentuk di Indonesia. Mata rantainya terputus, bagian Ilmu Pengetahuan – Teknologi digantikan oleh Industri Provider dari luar negeri.


Peran Dewan Riset

Kondisi terputusnya hubungan antara Lembaga Penelitian dengan Dunia Industri sebetulnya telah disadari sejak lama oleh Pemerintah. Berbagai program Riset yang berdasarkan “link and match” telah dilakukan sejak jaman Orde Baru.
Namun sayangnya keikut-sertaan Industri dalam setiap usulan Riset hanya sebatas pemenuhan persyaratan saja. Dalam prakteknya tidak ada bukti nyata bahwa dunia Industri dilibatkan. Nyatanya hampir tidak ada Industri atau produk (hasil industri) yang dihasilkan dari hasil Riset.
Menyadari kenyataan tersebut Dewan Riset (Nasional maupun Daerah) semestinya bisa berperan sebagai lembaga yang mampu menjadi jembatan ataupun katalisator sehingga memungkinkan terjadinya interaksi positip antara lembaga-lembaga riset dan pengusaha (industri) dalam upaya pengembangan Industri berbasis Iptek.

Pembangunan Industri berbasis Riset dan Teknologi (1)

A creation by design and not by default

Sub judul tersebut di atas adalah ungkapan dari Prof. Dr. Koentjaraningrat yang dikutip oleh Jakob Utama dalam bukunya “Bersyukur dan menggugat diri”, yang membahas masalah pembangunan Demokrasi dan Kebudayaan.

Dalam tulisan tersebut dikatakan bahwa sudah saatnya Bangsa Indonesia menyadari perlunya membuat rancangan kehidupan berdemokrasi dan berbudaya berdasarkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dengan tujuan membangun sebuah budaya (kultur) bangsa yang kompetitif. Sehingga tidak sebagaimana apa yang terjadi selama ini, terombang-ambing dalam arus globalisasi, yang pada akhirnya nanti, sebagaimana saat ini, akan kita sadari bahwa selama ini kita jalan di tempat.


Kondisi Industri di Indonesia

Dari pengalaman dan pengamatan penulis yang dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun menekuni bidang Industri, penulis melihat jelas bahwa keterombang-ambingan arah gerak pengembangan Industri juga mengalami hal yang kurang-lebih sama.
Industri tidak dibangun dengan perencanaan (by design) berdasarkan kompetensi atau Teknologi yang dikuasai, namun lebih didasarkan pada pertimbangan kebutuhan mendesak sesaat (by default).
Dengan demikian, Industri yang ada di Indonesia sifatnya dangkal dan tidak berakar pada kompetensi (Teknologi) yang semestinya dijadikan dasar pembangunan sebuah Industri. Industri semacam itu tidak kompetitif sehingga memerlukan proteksi yang terus-mnerus karena sulit bersaing dengan Industri sejenis dari negara lain, terutama dalam era globalisasi saat ini.

Melihat keadaan tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa sudah saatnya kita memikirkan pengembangan Industri yang dibangun berdasar pada Teknologi yang kita kembangkan sendiri dengan mempertimbangkan kompetensi dan kebutuhan nyata dalam Dunia Industri.
Namun demikian, menyadari kondisi masyarakat Indonesia saat ini, kita tidak mungkin mengharapkan Dunia Industri bisa mengembangkan sendiri Teknologi tersebut karena kemampuan Dunia Industri dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IpTek) sangatlah terbatas.


Peran Lembaga Penelitian

Salah satu lembaga yang semestinya dapat berperan besar dalam pembangunan Industri yang berbasis pada Iptek adalah lembaga-lembaga penelitian yang sudah ada tersebar di seantero tanah air, baik yang ada di bawah naungan Perguruan Tinggi, LIPI maupun Menristek.
Dari pengalaman dan pengamatan penulis dalam membangun hubungan dengan lembaga-lembaga Riset dan beberapa Perguruan Tinggi sejak tahun 1998 terdapat banyak sekali kendala yang dihadapi.
Salah satu kendala yang paling mendasar adalah tidak adanya pemahaman tentang sebuah siklus Industri, sehingga masing-masing pihak (peneliti dan pengusaha) tidak memahami peran dan domain (lingkup kerja) masing-masing sehingga sulit sekali terjadi sebuah sinergy.

Rabu, 11 November 2009

Motor Nasional

Press Release

Setelah melalui perjalanan panjang selama 5 (lima) tahun sejak PT Mega Andalan Motor Industri (PT MAMI) didirikan pada tahun 2004, akhirnya pada hari ini, tanggal 10 Nopember 2009 bertepatan dengan hari Pahlawan, PT MAMI meluncurkan produksi perdananya.

Dengan menggunakan merk MAK (Motor Andalan Kita), PT MAMI meluncurkan 2 varian model motor bebek, Vipros-125 (125 cc) dan Vipros 100 (100 cc). Masing-masing dipatok dengan harga Rp 9.900.000 dan Rp 9.450.000,-

Selama 1 (satu) tahun sejak soft launching pada Oktober 2008, PT MAMI bekerja keras melakukan “test drive” untuk penyempurnaan teknis sehingga akhirnya dihasilkan “motor dengan kwalitas yang dapat dipertanggung jawabkan dan harga yang terjangkau oleh masyarakat”.

Pada peluncuran perdana ini, motor MAK telah dipesan sebanyak 75 unit yang penyerahannya akan dilakukan pada bulan Desember 2009.

Untuk menjamin kepuasan pelanggan, PT MAMI telah membangun Factory Outlet yang diberi nama MAMI-FO, yang merupakan Pusat Penjualan terpadu, meliputi:
- Ruang pamer untuk motor dan pernak-pernik “motor-bikers life style”
- Sales counter
- Bengkel modern yang dilengkapi dengan Test-bench
- Safety Riding track

Bersamaan dengan peluncuran perdana motor MAK, pada hari ini diresmikan pembukaan MAMI-FO yang pertama di Jalan Solo Km 12.

Selanjutnya, untuk mendukung tercapainya target penjualan sebanyak 5.000 unit pada tahun 2010 serta untuk memberikan pelayanan yang menjamin kepuasan pelanggan di Daerah Istimewa Yogyakarta, MAMI-FO akan dibangun di Sleman, Bantul, Gunung Kidul dan Kulon Progo.

Dengan peluncuran motor MAK, PT MAMI yang berlokasi di Jalan Prambanan-Piyungan Km 5 membuktikan bahwa Bangsa Indonesia mampu menghasilkan Motor Nasional yang diharapkan kelak, tentunya dengan dukungan seluruh Bangsa Indonesia, dapat menjadi kebanggan bagi Bangsa Indonesia.

PT MAMI adalah anak perusahaan dari PT Mega Andalan Kalasan (PT MAK), sebuah perusahaan industri Peralatan Rumah Sakit terbesar di Asia Tenggara yang menguasai lebih dari 60% pangsa pasar Peralatan Rumah Sakit nasional dan produknya telah diekspor ke manca negara.

Yogyakarta, 10 Nopember 2009

Sabtu, 05 September 2009

Leadership: Pemimpin yang hebat

Ucapan Colin Powel yang dikutip oleh Oren Harari dalam bukunya "Break from The Pack" sungguh sangat menarik. Dia bilang, "Anda bisa disebut sebagai pemimpin yang baik ketika orang mengikuti Anda hanya karena ingin tahu".

Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa ketika para pemimpin membawa organisasi di jalur yang menarik dan memancing minat, berarti mereka mengundang orang yang tertarik dan terpancing minatnya untuk bergabung, untuk ikut melihat sesuatu terjadi dan atau untuk ikut membuat sesuatu terjadi.

Pemimpin yang baik (hebat) tidak harus mempunyai tujuan yang (menurut nilai moral) "baik". Don Corleone bisa dianggap sebagai Pemimpin yang baik (hebat), bahkan sebagai God Father, walau memimpin mafia.

Sayang, tidak banyak orang bisa melihat atau mengenali para pemimpin hebat. Seringkali justru orang memandangnya dengan sinis atau skeptis. Orang lebih menyenangi pemimpin yang sesuai dengan imajinasinya sendiri. Dan biasanya baru menyesali kekeliruannya setelah dia meninggalkan sang pemimpin hebat.

Selasa, 01 September 2009

Indonesia goes Industrial Country (2)

4. Saat ini PT MAK menjadi penguasa pasar perlengkapan rumah sakit. Mengapa Anda terjun ke bisnis itu?
Awalnya karena situasi yang mendesak, namun pada perkembangannya industri perlengkapan rumah sakit ternyata adalah industri yang cukup strategis untuk mendukung ketersediaan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Bayangkan, setiap tahun Indonesia membelanjakan sekitar Rp10 triliun untuk membeli alat kesehatan dan setiap tahun terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kemampuan ekonomi masyarakat. Sayangnya, hanya 5 persen saja yang dipasok oleh industri dalam negeri. Padahal dari belanja sebesar itu, 80 persen atau sekitar Rp 8 triliun adalah belanja pemerintah.
Jelas terlihat, seandainya ada kemauan politik dari pemerintah, Indonesia punya potensi yang sangat besar untuk menjadi produsen alat kesehatan global. Ini sudah dibuktikan MAK yang mampu memasok sekitar 60 persen kebutuhan furnitur rumah sakit nasional dan sejak 2007 mengekspor produknya ke manca negara, bersaing dengan Jepang, Amerika, Eropa dan Cina.

5. MAK juga memiliki keandalan di industri mekanik. Bisa digambarkan tahapan perkembangan industri mekanik yang Anda pimpin?
Sejak awal, industri yang kami kembangkan bukan berbasis produk tetapi berbasis kompetensi di bidang teknologi mekanik. Produk furnitur rumah-sakit adalah konsekuensi logis dari penguasaan teknologi mekanik pada saat itu.
Prinsipnya, industri berbasis teknologi mekanik pada tingkat yang paling tinggi akan menjadi industri yang disebut sebagai "the mother of all industry" atau industri yang bisa melahirkan industri apapun.
Saat ini, lebih dari 90 persen komponen furnitur rumah-sakit dibuat secara "in-house", sehingga kami berani menyatakan bahwa kami adalah perusahaan manufaktur furnitur rumah-sakit skala internasional yang paling kompetitif.
Industri permesinan dan perlengkapan industri kami kembangkan untuk mengejar produk-produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi dan untuk melahirkan industri-industri baru dengan biaya investasi semurah mungkin.

6. Sejak Oktober 2008 lalu, MAK berniat terjun ke industri motor. Apa pertimbangannya?
Industri otomotif (saat ini sepeda motor) mulai kami kembangkan sejak tahun 2005 bekerja sama dengan produsen dari Cina.
Alasannya, karena secara teknologi kami sudah mampu, juga karena kami perlu mempersiapkan sumber pertumbuhan baru selain furnitur rumah-sakit, dan terakhir karena industri otomotif memiliki nilai strategis yang luar biasa untuk mengembangkan industri di Indonesia.
Ilustrasinya, industri sepeda motor di Indonesia volume pasarnya sekitar Rp60 triliun, spektrum produknya relatif kecil dan pasarnya meluas di seluruh lapisan masyarakat.
Dari segi bisnis, industri sepeda motor sangat atraktif sehingga tidak heran kalau dalam 10 tahun terakhir bermunculan lebih dari 100 industri sepeda motor di Indonesia. Lebih menariknya, hampir semua industri tersebut saat ini sudah mati atau sekarat, tersisa hanya sekitar 5 industri yang masih eksis dan itu pun pangsanya terus menurun dari sekitar 20 persen pada tahun 2000 menjadi hanya kurang dari 5 persen saat ini. 95% pangsa pasar sepeda motor di Indonesia dikuasai oleh produsen Jepang.

7.Dalam buku "Never Ending Journey": Kisah Perjalanan Seorang Entrepreneur. Anda menggagas pembangunan sentra industri untuk masyarakat, dengan membangun Techno-park di Sleman. Apa latar belakang gagasan Anda?
Salah satu syarat agar Indonesia bisa menjadi negara industri adalah tersedianya pelaku-pelaku industri dalam jumlah yang memadai sehingga sektor industri bisa tumbuh mencapai minimum 40 persen dalam struktur PDB.
Pertanyaannya, siapa yang harus melahirkan pelaku-pelaku industri tersebut? Untuk itulah MAK berusaha mengkloning dirinya, yang sampai dengan saat ini telah membuktikan sebagai bibit unggul industri Indonesia.
Harapan saya, keberhasilan kami akan menjadi sumber inspirasi, sehingga terjadi sebuah gerakan "Indonesia goes Industrial Country" secara kolosal, seperti yang terjadi di Cina selama 20 tahun terakhir.

8. Bagaimana peran keluarga dalam mendukung usaha Anda?
Sahabat saya seorang dokter memberi nasehat bahwa "diam" adalah dukungan yang paling besar bagi seorang kepala keluarga. Selama ini istri dan kedua anak saya tidak pernah meributkan yang saya lakukan walau terkadang kontroversial sekalipun.

9. Hobi Anda?
Bekerja dan membaca apa saja antara lain lima koran setiap hari. Saya juga hobi menulis di milis, blog atau facebook. Dan terakhir, jalan-jalan dan main golf.

Indonesia goes Industrial Country (1)

Berikut ini saya kutipkan wawancara saya yang dimuat dalam Harian Jurnal Nasional tanggal 31 Agustus 2009.

"Kita Perlu Gerakan Indonesia goes Industrial Country"

"Menjadi negara industri adalah sebuah keniscayaan apabila bangsa Indonesia ingin mempertahankan diri sebagai bangsa yang berdaulat," kata Buntoro, Chairman PT Mega Andalan Kalasan (MAK) saat berbincang dengan Jurnal Nasional, di kantornya kawasan Kuningan, Jakarta, Senin (24/8).
Sudah 21 tahun Buntoro memimpin MAK, sebuah perusahaan yang memfokuskan diri pada produk perlengkapan rumah sakit. Sukses merajai pasar bisnis desain dan perlengkapan rumah sakit di Tanah Air, MAK ingin merambah posisi di industri mekanik.
Finalis Entrepreneur of the Year versi Ernst & Young tahun 2007 ini juga mengundang sejumlah wartawan menyaksikan secara langsung "dapur" industri mekanik MAK di Desa Tirtomani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta pada Kamis (20/8) lalu. "Jika mau, Industri nasional kita bisa bangkit," kata Buntoro bersemangat.
Berikut petikan wawancara dengan Buntoro.

1. Bagaimana Anda melihat problem mendasar pembangunan industri di Tanah Air?
Persoalan mendasar Industri di Indonesia sangat jelas terlihat dari semakin menyusutnya pangsa sektor industri dalam struktur PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia. Lima tahun terakhir pertumbuhan sektor industri selalu lebih kecil dari pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal pertumbuhan sektor industri sangat diperlukan sebagai penyerap tenaga kerja terdidik yang paling efektif.
Industri yang ada kebanyakan dibangun lebih berbasis pada permodalan (rent seeker oriented), sebagai sebuah"turn-key" project daripada pada penguasaan dan pendayagunaan teknologi (added value oriented).

2. Apa dampak ke depannya?
Kebanyakan Industri akan mengalami kesulitan untuk melakukan pendalaman teknologi, yang sangat dibutuhkan untuk memiliki kemampuan mengembangkan berbagai varian produk dan penurunan biaya untuk bisa bersaing dengan produk impor atau bahkan mengekspor produknya.
Saya kira kematian industri nasional tinggal menunggu waktu saja, dan itupun akan lebih dipercepat dengan berlakunya Kesepakatan Perdagangan Bebas Cina-Asean dan India-Asean mulai 1 Januari 2010.
Yang masih bisa bertahan adalah industri PMA (penanaman modal asing) seperti seluruh industri otomotif (Jepang), Unilever, Nestle, Danone dan lain-lain, serta industri-industri sejenis tahu dan tempe yang tidak diminati oleh produsen-produsen kelas dunia.

3. Anda optimistis industri Indonesia masih bisa bangkit?
Jika kebijakan ekonomi pemerintahan SBY 5 tahun mendatang masih melanjutkan kebijakan saat ini maka peluangnya nihil.
Satu hal yang sangat disayangkan dan yang menghilangkan kemungkinan Indonesia mengejar China, Korea Selatan, Taiwan adalah hilangnya fungsi sebagai "agent of development"dari bank-bank BUMN. Padahal fakta sejarah mengatakan hampir semua industri besar yang masih tersisa seperti Astra, Sinar Mas, Gudang Garam, Salim dan lainnya yang lahir pada jaman Orde Baru, tidak ada satu pun yang bisa dilepaskan dari jasa bank-bank BUMN. Termasuk PT Mega Andalan Kalasan tidak mungkin ada tanpa dukungan yang begitu besar dari Bank Dagang Negara.
Di Cina, Korea Selatan, Taiwan dan bahkan Jepang, kebijakan industri pemerintahnya selalu saling terkait dengan kebijakan penyerapan tenaga kerja, peningkatan penerimaan pajak, peningkatan daya saing nasional, peningkatan Human Development Index, perbaikan lingkungan hidup dan lain-lain yang sebetulnya terangkum dalam Millenium Development Goals (MDGs), yang semestinya dilaksanakan oleh pemerintah bukan untuk memenuhi komitmen global tapi justru untuk sebesar-besarnya kepentingan Indonesia.

Sabtu, 15 Agustus 2009

Renungan Indah - WS Rendra

Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini
hanyalah titipan

Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya: mengapa Dia menitipkan padaku???

Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ???
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu ???...
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?

Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah, lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,

Seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika:
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih.
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”,
dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah… “ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”

Selasa, 28 Juli 2009

Jalan menjadi konglomerat. (6): Bahan bakar (modal) usaha

Sedikitnya ada empat macam permodalan yang diperlukan sebagai bahan bakar bagi mesin-mesin pertumbuhan sebuah usaha, yaitu:
1.Material (financial / physical) Capital
2.Intelectual Capital
3.Social Capital
4.Spritual capital

Keempat macam modal tersebut diperlukan bagi setiap mesin pertumbuhan dengan komposisi yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan (tantangan dan peluang) pada setiap level usaha.

Besar kecilnya permodalan tersebut tidak secara langsung atau bahkan bukan hal yang menentukan kecepatan laju pertumbuhan sebuah usaha.
Namun demikian memang diperlukan besaran modal minimum sebagai leverage (pengungkit) agar sebuah usaha bisa tetap bergerak.

Kecepatan serta keberlanjutan pertumbuhan usaha ditentukan oleh ketepatan dosis masing-masing permodalan tersebut serta kemampuan mengakumulasikan permodalan tersebut sepanjang perjalanan menuju tujuan.

Minggu, 05 Juli 2009

Jalan menjadi konglomerat. (5): Mesin pertumbuhan usaha

Sebuah unit usaha dapat diibaratkan sebagai sebuah kendaraan (vehicle) bagi sang pemilik untuk mencapai tujuan hidupnya.

Sebuah kendaraan tentunya harus memiliki mesin penggerak (engine) dan persediaan bahan bakar (fuel) yang sesuai dan memadai, yang dapat menghasilkan daya gerak (horse power) yang cukup besar sehingga mampu menggerakan kendaraan tersebut untuk selanjutnya melaju sampai ke tujuan. Selain itu, kendaraan tersebut juga mesti mempunyai kapasitas dan konstruksi yang sesuai dengan medan yang akan dilalui.

Demikian juga halnya dengan sebuah unit usaha.
Agar dapat tumbuh secara berkelanjutan, setiap unit usaha harus dilengkapi dengan mesin pertumbuhan dan bahan bakar (permodalan) yang sesuai dan memadai.
Skala dan struktur usaha yang selaras dengan kapasitas mesin pertumbuhan akan dapat membuat sebuah usaha melaju dengan baik serta memiliki daya tahan saat harus melampaui berbagai rintangan dan tantangan usaha.

Mesin Pertumbuhan
Ada tiga buah mesin pertumbuhan yang melekat secara alamiah pada setiap unit usaha, yaitu:
1. Keunggulan Komparativ
2. Keunggulan Kompetitiv, dan
3. Keunggulan Kompetensi

Masing-masing mesin pertumbuhan tersebut memerlukan bahan bakar (permodalan) yang berbeda.
Kesalahan dalam menggunakan bahan bakar yang tidak sesuai dengan kebutuhan mesin pertumbuhan tersebut akan menyebabkan mesin tidak bekerja sebagaimana karakteristik yang dimilikinya atau bahkan menyebabkan mesin pertumbuhan tersebut tidak berfungsi sama sekali sehingga perusahaan kehilangan daya geraknya. Perusahaan mengalami stagnasi.
Sebaliknya, dengan bahan bakar (permodalan) yang tepat dan kemampuan untuk menggunakan ke-tiga buah mesin pertumbuhan tersebut secara bersama-sama dengan selaras, akan membuat perusahaan tumbuh secara maksimum.

....selanjutnya: bahan bakar (modal) usaha

Minggu, 14 Juni 2009

Wujud nyata Neoliberalisme

Berikut ini tulisan saya pada Notes di face book saya beberapa waktu yang lalu:

Kasus RS Omni - bentuk nyata dari kebijakan Neo Liberalisme
Share
Wednesday, June 3, 2009 at 8:43am | Edit Note | Delete

Saat ini sedang gencar diwacanakan tentang paham Neo Liberalisme yang dipertentangkan dengan paham "kerakyatan".
Sayangnya perdebatan yang disampaikan pada publik hanyalah sebatas teori yang sifatnya abstrak dan sulit dimengerti oleh orang awam.

Memang paham Neo Liberalisme tidak secara kasat mata dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari karena di"kemas" sedemikian rupa dalam bentuk kebijakan publik, yang tentu saja dilengkapi dengan dalil-dalil dan dasar undang-undang (yang dipilih) untuk mendukung.

Paham Neo Liberalisme baru dirasakan oleh masyarakat setelah "produk" kebijakan tersebut mengalamii "gesekan" dengan kepentingan masyarakat.

Kasus RS Omni adalah salah satu contohnya.

Liberalisasi dalam bidang pelayanan kesehatan telah membuka lebar-lebar pintu investasi bagi siapa pun yang mempunyai modal untuk mendirikan Rumah Sakit dan bentuk-bentuk komersialisasi pelayanan kesehatan lainnya, tanpa memperhitungkan kondisi masyarakat Indonesia.

Benturan atau gesekan antara Investasi ( asing) dengan masyarakat terjadi karena memang Rumah Sakit yang dibangun oleh para Investor hanyalah ditujukan untuk meraih keuntungan semata. Masyarakat hanyalah dipandang sebagai obyek untuk diekspoitasi.
Sedangkan masyarakat Indonesia pada umumnya masih menganggap adanya "fungsi sosial" yang diemban oleh institusi kesehatan.

Kebijakan (yang pekat bernuansa Neo Liberalisme) tersebut secara nyata terus berkembang di Indonesia. Saat ini bukan saja Rumah Sakit Asing dan swasta saja yang sudah menanggalkan "fungsi sosial"nya. Rumah Sakit milik Pemerintah pun sudah mulai mengikutinya.

Kamis, 21 Mei 2009

Jalan menjadi konglomerat. (4): Perlu pedoman usaha

Sering kali keberhasilan sebuah usaha dinilai dari kekayaan yang berhasil dikumpulkan oleh pemiliknya.
Dalam pergaulan, baik dengan sesama usahawan maupun dengan lingkungan sosialnya, sering kali yang ditanyakan adalah dimana tempat tinggalnya, apa merk mobilnya, apakah anaknya sekolah di luar negeri dan sebagainya dan sebagainya.
Semua pertanyaan tersebut pada hakekatnya digunakan untuk mengukur seberapa kaya diri seseorang.

Penilaian seperti itu tentu saja tidak sepenuhnya salah.

Dalam buku Never Ending Journey (NEJ) I, saya menceritakan betapa pada awal saya mengembangkan usaha (awal tahun 90-an), saya pernah sangat yakin dengan produk baru yang yang baru saja berhasil kami kembangkan. Begitu yakinnya sehingga saya memberikan type 318 pada produk tersebut. Saya memimpikan dari keberhasilan produk tersebut menembus pasar, saya akan bisa membeli mobil BMW type 318 yang saat itu sedang "in" dan menjadi salah satu mobil termewah.

Pada tahun 1991, dalam acara syukuran atas keberhasilan kami menyelesaikan bangunan pabrik permanen yang pertama, saya memberikan pengarahan kepada seluruh karyawan. Dalam kesempatan itu saya uraikan bahwa saya akan menggunakan "Trilogi pembangunan" sebagai pedoman pengembangan perusahaan di masa mendatang, yakni : Pertumbuhan yang berkelanjutan, Pemerataan hasil usaha dan Kestabilan / ketenangan dalam bekerja.

Keyakinan saya akan keberhasilan type 318 ternyata benar, tetapi saya batalkan niat membeli BMW 318. Saya memutuskan untuk membeli mesin CNC Lathe merk Takisawa bekas seharga Rp 100 juta, yang saya pikir akan jauh lebih berguna untuk berlanjutnya pertumbuhan usaha.

Perlu sebuah kesadaran bahwa keberhasilan usaha bukanlah semata-mata usaha kita sendiri sehingga kita bisa semaunya menggunakan keberhasilan tersebut untuk memuaskan diri kita sendiri.
Ada hal yang lebih utama yang harus didahulukan agar kepentingan yang lebih besar, yaitu konsisten pada pedoman usaha yang telah dicanangkan benar-benar dilaksanakan, bukan saja oleh para karyawan namun yang lebih penting adalah oleh pemimpin atau pemiliknya

Pada kenyataannya, pada tahun 1996 saya akhirnya bisa membeli BMW 530 yang lebih bergensi dari BMW 318, yaitu setelah kami berhasil menyelesaikan seluruh bangunan pabrik.

Tidak perlu "jaim". It's all just a matter of time.

Minggu, 10 Mei 2009

Jalan menjadi konglomerat. (3): Memilih bidang usaha

Seorang sahabat dalam komentarnya menulis:
"Bagaimana menurut anda orang2 yg seperti tidak putus berusaha, berupaya, ganti2 usaha, ikut trend yang lagi in. Banyak orang mengatakan orang sperti itu enterpreneur... saya sih tidak setuju, buat saya itu oportunis".

Dalam metafora menggunakan sebuah pesawat untuk menggambarkan sebuah usaha, orang yang gonta-ganti usaha pada hakekatnya sama dengan orang yang gonta-ganti pesawat.
Pergantian pesawat hanya bisa dilakukan saat masih di apron atau tempat parkir.
Di tempat inilah seorang entrepreneur memastikan bidang usaha yang akan ditekuni dan dibesarkannya.

Bak memilih pesawat, seorang pilot mencoba mengidupkan dan memanaskan mesin pesawat selama beberapa saat untuk meyakinkan dirinya bahwa mesin pesawat bisa menyala stabil, tidak mati-hidup sehingga merepotkan kelak, seraya menimbang-nimbang cara menanganinya nanti.
Seorang entrepreneur pun harus melakukan test pasar minimal selama 3 tahun untuk memastikan memang ada permintaan pasar yang berkelanjutan serta bisa diekplorasi lebih lanjut. Selama periode ini, seorang entrepreneur mempelajari karakteristik bidang usaha yang akan dijalaninya.

Pada tahap pemilihan bidang usaha ini sebagian (calon) wirausaha terlalu gegabah dalam menentukan bidang usaha yang dipilih. Dia tertipu oleh fenomena fatamorgana atau terbuai oleh teman-temannya (inner circle), yang sebetulnya tidak kompeten, yang memuji dan mendorong dirinya agar terus maju, hanya oleh keberhasilan sesaat.
Sebaliknya, sebagian lagi (calon) wirausaha dengan serta-merta berganti bidang usaha begitu merasa usahanya lamban berkembang atau karena merasa usahanya kurang bergengsi.

Seorang (calon) entrepreneur, di satu sisi dia bersikap "dingin" menghadapi semua itu. Meminjam istilah yang sering diucapkan oleh Pak Harto, dia mesti "ojo kagetan, ojo gumunan dan ojo dumeh".
Sedangkan di sisi lain, dia mempunyai kegairahan (passion) sebagai perwujudan dari rasa syukur yang tak tehingga karena telah diberi kesempatan.

Senin, 27 April 2009

Jalan menjadi konglomerat. (2) : menuju landas pacu

Kesulitan utama yang dihadapi oleh usaha industri yang jenis produknya "bukan barang konsumsi sehari-hari" atau "bukan barang kebutuhan primer" adalah permintaan (demand) yang tidak stabil.
Untuk komoditi Peralatan Rumah Sakit, kesulitan tersebut ditambah lagi dengan sangat terbatasnya jumlah konsumen dan luasnya geografis Indonesia.

Karakteristik pasar tersebut sangat sulit diantisipasi oleh industri. Kegiatan produksi terpaksa dijalankan dengan sistim "make to order" yang tidak efisien karena produktivitas yang rendah.

Untunglah pada saat yang sama terjadi perubahan pasar Peralatan Rumah Sakit yang cukup dramatis.

Tanpa diduga dan dinyana, pada saat yang sama (paruh kedua tahun 80-an), pembangunan Rumah Sakit bergaya modern baru saja dimulai. Ini ditenggarai dengan dibangunnya beberapa Rumah Sakit Swasta modern seperti Rumah Sakit Metropolitan Medical Center (MMC), Graha Medika, Pondok Indah dan lain-lain.

Bersamaan dengan geliat pasar Pelayanan Kesehatan di sektor swasta, Pemerintah juga melaksanakan program pembangunan besar-besaran Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat dan Rumah Sakit Umum (Pusat dan Daerah) sepanjang akhir Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (Pelita-5, 1988 - 1993) untuk melengkapi program persiapan tinggal landas menuju PJPT II.

Sayangnya, booming permintaan Peralatan Rumah Sakit tersebut tidak serta merta dapat diantisipasi secara masif.
Beberapa kendala yang masih menggelayut, baik internal maupun eksternal banyak menyita waktu, biaya, tenaga dan pemikiran untuk mempersiapkan diri agar siap menangkap berbagai peluang yang muncul.

Persoalan internal baru bisa dikatakan selesai tuntas pada akhir tahun 1990 setelah selama hampir selama 3 tahun berada pada posisi "survival for the life". (baca Never Ending Journey, NEJ I).

Baru pada 1 Januari 1991, kami tepat berada di ujung landas pacu. Siap untuk memacu pesawat menyusuri run away untuk take off, terbang menembus mega.

Now, sky is the limit.

Minggu, 26 April 2009

Jalan menjadi konglomerat. (1) : Dipersimpangan jalan

Sebagai seorang yang mengawali usaha dengan modal pas-pasan, saya pernah merasakan betapa sulitnya mengembangkan usaha hanya dengan mengandalkan modal yang dimiliki sendiri.
Terlebih lagi jika tidak memiliki koneksi dengan pejabat pemerintah yang bisa membantu untuk medapatkan proyek atau pejabat Bank untuk mendapatkan pinjaman modal. Segala sesuatunya harus didapatkan dengan bekerja keras, mengerahkan semua kemampuan walau hasilnya hanya untuk sekedar bisa mempertahankan hidup.

Sampai suatu ketika, setelah berusaha selama kurun waktu 6 tahun (kira-kira akhir tahun 86), saya menyadari bahwa walaupun ada kemajuan usaha tetapi relatif tertinggal jauh bila dibandingkan dengan para pesaing. Saya menyadari bahwa dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki perusahaan, tidak mungkin usaha tersebut dikembangkan lebih lanjut.
Keadaan tersebut memnggelisahkan saya. Sampai suatu saat saya menyimpulkan bahwa saya harus segera banting setir karena setelah ditimbang-timbang, usaha sebagai pedagang Alat Laboratorium tidak mempunyai masa depan sebagaimana yang saya cita-citakan.
Saya bercita-cita menjadi konglomerat.

Untuk menjadi seorang konglomerat, diperlukan suatu bidang usaha yang mempunyai struktur yang bisa dikembangkan tanpa batas (sky is the limit). Dan pilihan yang paling mungkin adalah bidang industri. Alasannya adalah karena industri bisa dikembangkan mulai dari industri kecil bahkan mikro. Berbeda dengan bidang-bidang lain seperti property, perbankan, telekomunikasi dan lain-lain bidang yang padat modal.

Dengan pemikiran tersebut maka kegiatan usaha secara bertahap saya arahkan untuk mulai menjual produk industri yang diproduksi sendiri.
Ternyata upaya ini tidak mudah untuk dilakukan karena ada begitu banyak keraguan terhadap kemungkinan keberhasilan usaha baru ini dari para mitra usaha.

Kondisi tersebut membuat saya mengalami dilematis yang sangat berat. Di satu pihak saya berpikir bahwa saya hanya akan membuang waktu saja apabila saya meneruskan kegiatan usaha lama, sedangkan di pihak lain apabila saya bertahan pada obsesi menjadi konglomerat maka saya harus siap untuk berjalan sendiri.

Setelah membuat analisa yang mendalam terhadap kinerja masa lalu serta memperhitungkan berbagai kesulitan yang akan dihadapi bila saya berjalan sendiri, maka dengan tekad yang bulat saya memilih untuk berjalan sendiri.

Sabtu, 25 April 2009

Entrepreneur : (My) Character is (my) destiny (7)

Berbagai tulisan dalam "Charachter is destiny" dimaksudkan untuk memberikan ilustrasi yang menggambarkan bahwa untuk menjadi seorang entrepreneur tidak cukup hanya bermodalkan sifat-sifat dasar seperti rajin belajar, rajin bekerja, hemat, ulet dan sebagainya.
Sifat-sifat dasar tesebut hanya bisa diibaratkan sebagai warna dasar sebuah kanvas dan sama sekali tidak memberikan indikasi apakah seseorang potensial untuk menjadi seorang entrepreneur.
Sedangkan sosok entrepreneur diibaratkan sebagai lukisan, yang baru akan terbentuk oleh goresan demi goresan yang ditorehkan oleh sang pelukis.

Nilai sebuah lukisan tidak ditentukan oleh "keindahan" dari apa yang tergambar di atas kanvas, tetapi oleh kekuatan (daya magis) yang terpancar, yang mampu membawa pikiran orang yang melihatnya "mengembara" ke "tempat, waktu dan situasi" yang berusaha di tuangkan oleh sang pelukis di atas kanvas.

Demikian halnya dengan sosok seorang entrepreneur, dimana dan kapan pun dia berada akan selalu terpancar sebuah kekuatan (entrepreneurship) yang mampu memberikan inspirasi siapa pun orang yang berada di sekelilingnya.

Sebagaimana sebuah lukisan, gambarnya bisa apa saja, dari yang naturalis sampai yang abstrak bahkan yang hanya imajinasi sang pelukis sekali pun sebagaimana lukisanan "last supper"nya Leonardo da Vinci yang mengilhami Dan Brown untuk menulis Novel Davinci Code. Seorang entrepreneur tidak selalu identik dengan sosok seorang pengusaha (besar), dia bisa ditampilkan pengambil sosok seorang Bob Sadino, Tommy Winata, Bill Gate, Don Corleone (God father) atau bahkan sorang Yanto (pedagang Bakmi dengan gerobag dorong yang mangkal di depan kantor saya sejak lebih dari 20 tahun yang lalu).

Pengalaman saya sepuluh tahun yang lalu ketika berkunjung ke Jepang untuk melihat beberapa industri "kecil" disana, memberikan pandangan yang beberbeda bagi seorang entrepreneur. Saya melihat banyak industri "kecil" yang telah berumur lebih dari 20 tahun tetapi tetap eksis ditengah tumbuhnya banyak raksasa industri seperti Toyota, Mitsubishi, Sony, National dan lain-lain.
Saya merasakan adanya pancaran kekuatan yang menjelaskan mengapa mereka masih bisa eksis walaupun tetap "kecil".
"Small but happiness" is the right words to explain why.

Entrepreneur : (My) Character is (my) destiny (6)

Mentor adalah salah satu faktor yang ikut membentuk karakter seseorang,
Biasanya ada lebih dari seorang mentor yang berpengaruh kuat pada seseorang. Mentor bisa saja seorang teman sekolah, mitra kerja, keluarga, mantan guru, pesaing usaha atau bahkan figur imajiner yang tidak dikenal secara langsung namun dipercaya bisa dijadikan panutan.

Dalam kisah Mahabarata ada dikisahkan cerita tentang seorang ksatria yang besar sekali tekadnya untuk menjadi seorang ahli panah tapi terkendala untuk mendapatkan bimbingan dari guru yang hebat. Kendala tersebut tidak menjadikan Sang Ksatria kehilangan akal. Dia membuat patung Maha guru Dorna dan mulai belajar memanah dengan membayangkan kehadiran Sang Maha guru yang memberikan pelajaran dan instruksi pada dirinya. Singkat cerita, Ksatria tersebut akhirnya bisa menjadi ahli memanah bahkan mengalahkan Arjuna, murid kesayangan Sang Maha guru Dorna.

Kisah di atas menjelaskan adanya hubungan batin, walau secara imajiner sekali pun agar seseorang bisa mengambil manfaat dari Sang Mentor. Tanpa hubungan tersebut, walau dibimbing oleh seorang Master sekali pun, seseorang tidak akan mendapatkan manfaat optimum dari Sang Mentor.

Salah satu pelajaran menarik sebagai seorang wira-usaha didapat pada awal usaha formal saya sebagai pemasok Peralatan Laboratorium di awal tahun 80-an. Usaha ini pada dasarnya tidak lebih dari pada usaha "catut-mencatut", modal utamanya adalah kepercayaan untuk mendapatkan hutang (credit term, biasanya 30 hari) dari sumber barang (importir, agen tunggal). Harga jual biasanya sesuai dengan price list yang dikeluarkan oleh sumber barang dan keuntungannya adalah sebatas diskon yang diberikan, umumnya sebesar 10%.

Suatu ketika saya sangat gembira karena berhasil mendapatkan order yang lumayan besar dari seorang Om (paman) yang datang dari daerah untuk membeli sebuah alat. Harga jual telah disepakati sesuai dengan price list. Namun, sebagaimana kata peri bahasa, untung tak dapat diraih dan malang tak dapat diraih, saat waktu transaksi tiba tak dinyana dan diduga Si-Om membatalkan pembelian tersebut. Dengan enteng Si-Om bilang bahwa dia telah membeli alat tersebut di Glodog dengan diskon 5%.
Tentu saja saya sangat kecewa, bukan saja karena kehilangan kesempatan mendapat untung dari transaksi itu tapi juga karena harus membayar pembelian barang tersebut yang nilainya nyaris menghabiskan saldo uang di Bank.

Si-Om tersebut adalah seorang pengusaha yang sukses, tapi tentu saja tidak layak dijadikan sebagai seorang Mentor.

Senin, 20 April 2009

Entrepreneur : (My) Character is (my) destiny (5)

Kasus "Cerobong Asap Palsu" adalah perkara perseteruan antara dua orang yang bersebelahan rumah.
Kisahnya terjadi di Eropa, dimana pada umumnya rumah disana memiliki cerobong sebagai saluran untuk mengeluarkan asap dari tungku perapian yang digunakan sebagai penghangat ruangan pada saat musim dingin tiba.

Karena merasa kesal dengan tetangga sebelah rumah, seseorang dengan sengaja membuat cerobong asap palsu di bubungan atap rumahnya. Posisi cerobong asap tersebut diatur sedemikian rupa sehingga pada saat matahari terbit, bayangan cerobong asap tersebut tepat jatuh pada jendela kamar pemilik rumah tetangganya.
Tujuan pemasangan cerobong asap palsu tersebut adalah agar supaya tetangganya tidak bisa lagi menikmati sinar matahari pagi musim panas yang sangat dibutuhkan untuk kesehatannya.

Tentu saja tetangga tersebut marah dan merasa dirugikan. Segala upaya untuk meminta agar cerobong asap tersebut dipindahkan tidak berhasil karena tetangganya berargumen bahwa dia mempunyai hak dan kebebasan untuk memasang cerobong asap di bagian mana pun juga di atap rumahnya sendiri.

Akhirnya kasus ini dibawa ke pengadilan setempat.
Pada amar keputusannya, hakim memutuskan untuk mengabulkan permohonan pembongkaran cerobong asap palsu tersebut.
Dasar dari keputusan tersebut adalah hukum "kepatutan". Kepemilikan atas property tidak serta-merta memberikan hak pada pemiliknya untuk menggunakan property tersebut dengan sesuka hatinya, apalagi kalau penggunaan tersebut merugikan orang lain.

Beberapa tahun yang lalu saya mengalami sendiri kejadian yang mirip kasus tersebut.
Dan saya sangat bersyukur karena ingatan pada kasus tersebut telah membuat saya dengan ringan hati memenuhi tuntutan seorang petani yang merasa dirugikan karena kami membangun pabrik tepat di sebelah sawah yang digarapnya.
Lokasi pabrik kami memang "mewah" alias "mepet sawah", sehingga setiap bangunan yang kami dirikan berakibat menghalangi sinar matahari yang sangat dibutuhkan untuk padi yang ditanam di sawah tetangga. Kekurangan porsi sinar matahari ini berakibat fatal karena menyebabkan padi tumbuh tidak sebagaimana mestinya dan petani penggarap dirugikan karena hasil panennya tidak optimum.

Bisa saja saya bersifat arogan sebagaimana yang dikalukan oleh pembuat cerobong asap palsu. Tapi saya memilih untuk mematuhi keputusan hakim.

Minggu, 19 April 2009

Entrepreneur : (My) Character is (my) destiny (4)

Tekad saya untuk tidak mencuri informasi dari pesaing dengan cara yang tidak sah ternyata tidak mudah untuk dilaksanakan.
Tantangan paling besar datang sekitar akhir tahun 80-an.
Sebagai pelaku industri pemula, selain tidak mempunyai kemampuan teknis untuk menciptakan produk sendiri, modal perusahaa pun sangat terbatas.

Saat memulai industri Peralatan Rumah Sakit (Hospital Furniture), kami menempuh jalan pintas. Tanpa pikir panjang, kami meniru (copy cat) mentah-mentah barang yang dibuat oleh produsen yang sudah ada.
Pada saat itu ATMI (Akademi Teknik Mesin Industri) - Solo adalah produsen utama Peralatan Rumah Sakit di Indonesia. Dan secara kebetulan 4 orang dari 6 orang pendiri perusahaan adalah alumni ATMI.
Dengan demikian bisa dibayangkan betapa mudahnya kami "mencuri" teknik pembuatan Peralatan Rumah Sakit yang notabene adalah produk yang selama mereka kuliah di ATMI adalah obyek kerja sehari-hari.

Pada awalnya ATMI tidak ambil pusing dengan tingkah alumninya tersebut. Mungkin karena mereka tahu bahwa dengan peralatan yang terbatas dan modal kecil, tidak mungkin kami mampu bersaing dengan mereka. Malahan mereka (mungkin secara tidak sadar) ikut membantu kami dengan bersedia menerima order dari beberapa bagian (suku cadang) yang belum dapat kami buat sendiri karena keterbatasan peralatan yang kami miliki.
Sampai suatu saat, kami mengalahkan ATMI dalam suatu Tender Pengadaan Peralatan Rumah Sakit pada satu instansi pemerintah. Tentu saja ATMI marah besar dan langsung kami diembargo secara total.

Saat mengetahui hal itu saya langsung teringat pada Cohen-Lindenbaum Arest.
Sungguh saya sangat menyesal dan malu atas perbuatan "kotor" yang telah kami lakukan tersebut. Hati nurani saya tetap tidak bisa menerima argumen bahwa perbuatan tersebut adalah wajar dilakukan oleh para pemula.

Penyesalan ini kami wujudkan dengan segera memulai melakukan rekayasa untuk membuat produk yang berbeda dengan produk ATMI.

Kalau saja saat itu kami tidak menyesal atau bahkan menepuk dada, bangga karena bisa mengalahkan ATMI maka mungkin ceritanya akan lain. Mungkin kami akan menjadi kerdil dibawah bayang-bayang ATMII.

Peristiwa di atas memberikan banyak pelajaran penting, diantaranya:
1. Betapa sulitnya memulai suatu usaha bagi para pemula.
2. Penyesalan membawa kita ke "jalan yang benar".
3. Tidak perlu menjadi berang bila ada orang yang meniru produk kita.
4. Pentingnya "continuos improvement" agar selalu beberapa langkah di depan.
5. Selalu sadar diri dan dengarkan kata hati nurani.

Entrepreneur : (My) Character is (my) destiny (3)

Pertanyaan yang seringkali timbul sehubungaan dengan karakter adalah. bila manakah karakter seseorang terbentuk?. Apakah karakter seseorang sudah ada sejak lahir?. Apakah bintang menentukan karakter seseorang?....seberapa jauh pengalaman hidup berpengaruh dalam membentuk karakter?...dan seterusnya....dan seterusnya.
Tulisan berikut tidak ditujukan untuk menjawab pertanyaan tersebut, karena akan menimbulkan polemik yang berkepanjangan.
Dalam serial Entrepreneur: To see the unseen, saya telah menceritakan bagaimana karakter dasar seseorang terbentuk. Pengalaman semasa kecil dan remaja telah memberikan warna dasar karakter seseorang.
Berikut ini saya akan menceritakan beberapa pelajaran dan pengalaman hidup yang begitu melekat sehingga membentuk gambar mozaik karakter seorang.

Walaupun kuliah di jurusan Elektro, namun saya sangat serius mengikuti mata kuliah yang sama sekali tidak berhubungan dengan ke-teknik-an.
Salah satu mata kuliah yang sangat saya nikmati adalah kuliah "Pengantar Ilmu Hukum" (PIH). Sampai sekarang (setelah lewat 35 tahun) saya masih ingat hampir semua pelajaran tersebut.
Salah satu topik kuliah yang sangat membekas adalah soal hukum kepatutan. Dosen PIH memberikan 2 buah contoh kasus untuk menjelaskan hukum ini. Yang pertama adalah Cohen - Lindenbaum Arest dan yang kedua adalah perkara cerobong asap palsu.

Dalam kasus pertama diceritakan bahwa Cohen adalah karyawan Lindenbaum yang mengundurkan diri dan kemudian bekerja pada saingan Lindenbaum. Dengan berlalunya waktu, Lindenbaum mengetahui bahwa Cohen telah membocorkan rahasia mereka pada tempat kerjanya yang baru. Karena merasa dirugikan, Lindenbaum menunutut Cohen di Pengadilan.
Perbuatan Cohen tersebut tidak melanggar hukum positip manapun. Tetapi hakim memutuskan Cohen bersalah karena telah melanggar hukum kepatutan. Akhirnya hakim membuat yurisprudensi dengan menetapkan bahwa Cohen bersalah dan menghukumnya.

Pelajaran ini sangat membekas dan selalu menjadi peringatan bagi saya untuk tidak melakukan pencurian informasi baik dari pengusaha lain maupun pesaing dengan cara yang tidak sah.
Selain itu juga memperingatkan saya untuk tidak menyalah-gunakan kedudukan (fasilitas ataupun kepercayaan) untuk tujuan apapun yang mungkin bisa merugikan mitra atau orang yang telah memberikan kepercayaan pada saya.
Pelajaran tersebut juga telah memberikan inspirasi bahwa ada banyak hal yang tidak terjangkau oleh hukum positip. Hanya dengan mengembangkan wisdom (kesadaran diri) dan hati nurani saja maka seorang wira usaha bisa menjadi seorang entrepreneur.

Minggu, 12 April 2009

Entrepreneur : (My) Character is (my) destiny (2)

Karakter (sifat) hemat, rajin bekerja, rajin belajar dan disiplin, sebagaimana yang diuraikan dalam serial tulisan "To see the unseen", pada dasarnya dimiliki oleh hampir semua orang.
Tidak peduli apakah dia seorang karyawan swasta, pegawai negeri sipil, tentara, polisi ataupun wira-usahawan; mereka semua memerlukan karakter dasar tersebut agar bisa menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya.

Namun kalau kita cermati lebih lanjut, walaupun mungkin memiliki karakter dasar yang sama, tidak semua tentara atau polisi bisa menjadi jenderal, tidak semua karyawan swasta ataupun pegawai negeri sipil bisa meniti karir hingga mencapai puncak (eselon 1 atau direktur). Diperlukan karakter seoarang jenderal dan direktur untuk mencapai puncak.
Demikian juga dengan para wira-usahawan, tidak semua mempunyai karakter entreprenur yang sangat diperlukan untuk dijadikan sebagai landasan bagi upaya-upaya mewujudkan visi usahanya.

Berbeda dengan profesi lain yang mempunyai struktur organisasi yang jelas, wira-usaha selain tidak mempunyai struktur yang jelas juga tidak ada batasnya (sky is the limit).
Sebagai contoh, 40 tahun yang lalu founding father Bakmi GM masih berjualan bakmi dengan gerobag dorong yang mangkal di daerah sekitar Jalan Gajah Mada, dengan total penjualan kira-kira sebesar Rp 100 j/tahun (nilai saat ini). Tetapi sekarang dengan lebih dari 10 outlet di mall=mall, penjualannya sudah lebih dari Rp 100 M/tahun.
Sebaliknya, ironis dengan keberhasilan Bakmi GM, kalau kita perhatikan keadaan di sekeliling kita, ada ribuan tukang bakmi yang telah bertahun-tahun menjalankan usahanya, sebagaimana founding father Bakmi GM, tetapi tetap saja tidak banyak berubah alias masih setia dengan gerobag dorongnya. Stagnan?.

Contoh tersebut, memberikan penjelasan bahwa diperlukan karakter entrepreneur untuk membangun sebuah usaha (besar).
Karakter entrepreneur ini hanya bisa didapat dari akumulasi pengalaman seorang wira-usaha dalam menjalankan usahanya, yang kemudian dijadikan sebagai pelajaran bagi dirinya dan kemudian secara berkelanjutan menggunakannya sehingga menjadi karakter yang melekat dalam dirinya dalam menjalankan (mengembangkan) usaha selanjutnya.

Karakter entrepreneur tidak mungkin dipelajari di bangku kuliah. So, let's do it....than we will get it....

entrepreneur : (My) Character is (my) destiny (1)

Judul tersebut adalah judul buku karangan John Mc Cain (Senator A.S yang juga Capres yang dikalahkan oleh Obama) dan Mark Salter.
Saya kutipkan sedikit dari kata pendahuluannya.

Kita bukan dilahirkan untuk menjadi sesuatu yang telah ditentukan, begitu saja mengikuti rencana perjalanan yang telah ditentukan oleh tangan gaib, atau tanpa daya ditarik bintang-bintang ke arah tertentu, kemudian mendatangkan kebahagiaan bagi sebagian orang dan kemalangan bagi orang lain.

Karakter kita akan menentukan hidup (nasib) kita

Tuhan memberi kita hidup, menunjukkan cara memanfaatkannya, tetapi membiarkan kita menyia-nyiakannya jika mau begitu. Karakter akan menentukan seberapa baik dan buruk pilihan kita.

Gagasan menulis tentang karakter muncul ketika kemarin (11 April 2009), sahabat saya menanyakan apakah setiap wira-usahawan bisa disebut sebagai entrepreneur.
Pertanyaan ini adalah salah satu topik obrolan sepanjang perjalanan dari Pondok Indah, menghadiri reuni Angkatan 15 (74) di lantai 30 Plasa Bumi Daya dan berakhir ngobrol sambil ngopi di Daily Bread cafe di Pondok Indah Mall. Dari jam 10.30 sampai dengan jam 16.30.

Topik tersebut menjadi sangat menarik setelah saya mengamati teman-teman kuliah yang rata-rata berumur 53 s/d 55 tahun.
Walaupun hanya dihadiri oleh 16 orang dari sekitar 140 orang angkatan 15, tetapi saya bisa melihat dengan jelas bahwa ada korelasi yang logis antara karakter dan capaian prestasi mereka selama 30 tahun selepas kuliah di Fakultas Teknik Jurusan Elektro Universitas Trisakti.

Sampai di rumah saya masih mencoba merenungkan apa jawaban yang paling tepat dari pertanyaan sahabat saya tersebut, sambil mengingat kembali meriahnya obrolan dengan teman-teman seangkatan.
Sebuah "blink" tiba-tiba muncul, tidak semua wira-usahawan bisa mempunyai predikat sebagai entrepreneur.

Seorang wira-usaha bisa disebut sebagai seorang entrpreneur, "jika dan hanya jika" dia memiliki karakter seorang entrepreneur.

Minggu, 05 April 2009

entrepreneur : To see the unseen (4)

Rangkaian 3 buah tulisan tentang entrepreneur sejatinya saya tujukan untuk menjelaskan bahwa menjadi entrepreneur pada hakekatnya adalah panggilan jiwa.
Hanya orang yang mampu memberikan arti (esensi) dari apa yang dialaminya (bangun pagi, mengumpulkan sisa minyak goreng dan menimba air) saja yang bisa mengambil manfaat untuk menggunakannya sebagai fondasi (mile-stone) bagi perjalanan hidupnya kelak.

Dalam keluarga saya, pengalaman masa remaja tersebut bukanlah monopoli saya sendiri. Adik-adik saya pun mengalami hal yang hampir sama, walaupun tentunya dengan intensitas yang berbeda.
Tetapi, nyatanya hanya saya saja dari 8 bersaudara yang memilih entrepreneur sebagai jalan hidup.

Melihat kenyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, asal-usul (keturunan) dan lingkungan hidup semasa usia remaja atau pun pemuda, tidak secara pasti menentukan apakah seseorang kelak bisa menjadi seorang entrepreneur.

Ayub dalam mengomentari To see the unseen (1) menanyakan bagaimana seorang ayah menjelaskan kepada anaknya yang masih berusia 13 - 16 tahun dan anaknya mau menaatinya. Trust, ya hanya trust saja jawaban yang pas.

Tulisan ini juga ditujukan untuk memberikan inspirasi bagaimana menjawab tantangan untuk mencari (melahirkan) 4.000.000 entrepreneur (baru) yang dibutuhkan oleh Indonesia sebagai prasyarat bagi terjadinya sustainable growth menuju negara Industri.
Diperlukan intrepreneur-intrepreneur yang mau menjadi mentor. Mentor yang memiliki kredibilitas sehingga bisa dipercaya (mendapatkan trust) para calon entrepreneur yang dibimbingnya untuk menjadi seorang entrepreneur.

Jaman telah berubah, entrepreneur seperti saya yang lebih tepat disebut sebagai "entrepreneur nobody's child, yang Just like a flower, growing wild" sudah semakin sulit untuk diharapkan akan muncul.
Tuntutan jaman dan lingkungan membuat orang menjadi tidak sabar sehingga kehilangan kepekaan atas berbagai oportuniti yang lewat dihadapannya serta malas atau tidak punya waktu untuk terus belajar.

Bila saja ada kesadaran dari setiap 400.000 entreprenur yang ada saat ini untuk mau menjadi mentor, maka hanya dengan menjadi mentor bagi 10 orang calon entrepreneur, suatu saat kebutuhan (lowongan) 4.000.000 entrepreneur baru akan bisa terpenuhi.

God bless Indonesia.

entrepreneur : To see the unseen (3)

Salah satu kebiasaan penting yang membekas dan berlanjut sampai dengan saat ini adalah kebiasaan bangun pagi.
Kebiasaan tersebut semakin menemukan esensinya bila dikaitkan dengan nasihat nenek saya yang setiap saat menganjurkan agar saya bangun pagi, bangun sebelum ayam berkokok, agar supaya rejeki yang diperuntukan bagi saya tidak didahului dipatuk oleh ayam-ayam yang setiap pagi mencari makan.

Sampai dengan saat ini, saya setiap hari masih bangun tidur pada pukul 4.30. Berangkat dari rumah ke kantor pada pukul 5.20 dan tepat pukul 6.00 saya tiba di kantor.

Dengan kebiasaan tersebut, sepanjang perjalanan saya tune-in radio Elshinta yang me-relay BBC London untuk mendengarkan berita-berita dunia, termasuk berita ekonomi, politik, olah raga, pelajaran bahasa Inggris dan kutipan head-line koran-koran yang terbit hari itu di Indonesia.
Seringkali, apabila lalu-lintas ramai dan pada pukul 6.00 belum tiba di kantor, saya masih sempat tune-in radio Heart-line untuk mendengarkan khotbah Pendeta Gilbert Lumoindong atau sedikitnya mendengarkan kata pengantarnya : "Kebahagiaan bukan karena mendapatkan apa yang tidak kita miliki tetapi kebahagiaan adalah mensyukuri apa yang sudah kita miliki". Sebuah kalimat yang hampir setiap pagi mengingatkan saya untuk selalu memikirkan apa yang bisa saya lakukan dengan apa yang saya miliki untuk kepentingan sesama.

Sesampai di kantor, saya tune-in SCTV yang menyiarkan Liputan-6 pagi untuk mendengarkan berita-berita dalam negeri sambil saya menikmati kopi dan membaca Media Indonesia, Sindo, Rakyat Merdeka dan Bisnis Indonesia. Liputan-6 pagi selesai pukul 6.30 dan dilanjut dengan "was-was" sampai dengan pukul 7.30, bertepatan dengan saat saya selesai membaca 4 koran tersebut.

Selesai menjalankan semua rangkaian ritual pagi tersebut, saya mulai bekerja dengan bekal hampir semua informasi yang terjadi selama 12 jam terakhir, termasuk infotaintment sebagai sumber inspirasi yang up to date untuk membuat berbagai keputusan bisnis.

Minggu, 29 Maret 2009

entrepreneur : To see the unseen (2)

Mungkin apa yang saya ceritakan berikut ini tidak pernah terbayangkan oleh generasi muda saat ini.

Saat saya ramaja, sekitar akhir tahun 60-an, belum ada pompa air listrik sebagaimana saat ini. Kebutuhan air untuk berbagai keperluan harus diambil langsung dari sumur dengan cara ditimba. Caranya, ember yang diikat dengan tali timba diturunkan sampai ke permukaan air sumur dan kemudian setelah dipenuhi air ditarik kembali ke atas. Demikian seterusnya.

Sebagai anak sulung, setiap pagi saya bertugas untuk mengisi bak mandi untuk keperluan mandi bagi seluruh keluarga. Bak mandi tersebut ukurannya kira-kira 150 cm (P) x 60 cm (L) x 120 cm (T), jadi diperlukan air kira-kira 1.000 liter untuk memenuhinya.

Dengan menggunakan ember berukuran 8 liter, sedikitnya diperlukan 120 kali menurunkan-naikan ember ke dalam sumur. Dalam keadaan normal, setiap menit saya mampu menimba sebanyak 3 kali, sehingga sedikitnya saya memerlukan waktu 40 menit untuk memenuhi bak mandi tersebut. Tapi pada saat musim kemarau, permukaan air sumur turun dari kedalaman normalnya (6 meter) menjadi 10 meter, sehingga diperlukan waktu sekitar 1 jam untuk memenuhi bak mandi.

Pekerjaan tersebut harus saya selesaikan sebelum pukul 6 pagi, yaitu sebelum adik-adik saya bangun dan mulai mandi. Hal ini penting sekali karena kalau adik-adik saya mulai mandi sebelum bak mandi penuh maka berarti berarti pekerjaan tambahan bagi saya karena tugas saya adlah mengisi penuh bak mandi.

Dengan tugas tersebut, saya menjadi sangat familiar untuk mengkonversikan sebuah pekerjaan menjadi segmen-segmen yang terukur (rasional), memperhitungkan cycle-time suatu segmen pekerjaan, merencanakan kapan waktu yang paling pas untuk memulai suatu pekerjaan agar pekerjaan tersebut selesai tepat waktu, peka terhadap berbagai perubahan (cuaca) dan bangun sebelum subuh.

Hasil sampingan dari tugas tersebut adalah mens sana in corpore sano.

Sabtu, 28 Maret 2009

entrepreneur : To see the unseen (1)

Saya adalah sulung dari 8 bersaudara. Dilahirkan dan dibesarkan di Purbalingga, sebuah kota kabupaten yang kurang penting di daerah ex. Karesidenan Banyumas.

Orang tua saya adalah pedagang minyak goreng kelas menengah, yang bisnis utamanya adalah sebagai pedagang perantara (distributor) minyak goreng dari pabrik minyak goreng yang berlokasi di Cilacap dan Banjarnegara ke pedagang eceran di Purbalingga dan sekitarnya.

Pada puncak kejayaannya, volume penjualan rata-ratanya mencapai kira-kira 5.000 kg/hari. Atau dengan harga yang berlaku sekarang (Rp 7.000,-/kg), nilainya sebesar Rp 35 juta / hari. Keuntungan sebagai distributor hanya 2 - 3% dan setelah dikurangi dengan biaya distribusi, rata-rata keuntungan bersihnya hanya 1% atau kira-kira Rp 7,5 jt/bulan.

Keuntungan tersebut sebetulnya sudah sangat lumayan, apalagi untuk pedagang di kota sekecil Purbalingga. Namun untuk sebuah keluarga besar dengan 7 anak, jumlah tersebut hanya menyisakan sedikit untuk ditabung.

Pada saat itu saya masih duduk di SMP Negeri I Purbalingga. Salah satu tugas saya adalah setiap pagi saya harus mengambil sisa minyak goreng dari drum kosong.
Caranya, drum minyak goreng kosong yang sehari sebelumnya diambil dari pedagang eceran (diganti dengan drum yang baru yang berisi penuh), selama semalaman diletakan terbaring miring dengan bagian bawah (pantat) lebih tinggi dari bagian atasnya sedangkan posisi tutup diatur berada di bagian bawah. Dengan posisi ini maka sisa minyak goreng yang masih melekat di dinding drum akan terkumpul tepat dibagian tutup drum.
Dengan sepotong gombal yang dimasukan melalui tutup drum saya bisa mengambil sisa minyak goreng karena minyak goreng akan membasahi gombal yang kemudian saya peras ke dalam ember.

Pekerjaan tersebut kelihatannya sangat sepele namun secara rata-rata dalam sebulan terkumpul sekitar 200 kg, yang nilainya sekitar Rp 1,4 juta.
Dengan demikian maka dalam waktu 3 tahun tanpa terasa terkumpul tidak kurang dari Rp 50 jt. Suatu jumlah yang apabila didepositokan, hasil bunganya setiap bulan sangat mencukupi untuk membiayai saya melanjutkan ke SMA di Jakarta. Saat itu bunga deposito di bank sekitar 2,5%/bulan.

CATATAN: SEMUA BESARAN NILAI UANG TELAH DIKONVERSIKAN KE DALAM NILAI (HARGA) BERLAKU SAAT INI.

Kamis, 26 Maret 2009

entrepreneur : sosok multi dimensi

Pertanyaan yang seringkali muncul adalah: apakah semua orang bisa menjadi entrepreneur?, seberapa besar pengaruh latar belakang keluarga dalam ikut melahirkan seorang entrepreneur?, apakah entrepreneurship bisa diajarkan secara formal di sekolah?, dan seterusnya....dan seterusnya.

Begitu banyaknya pertanyaan-pertanyaan di sekitar entrepreneur dan entrepreneurship, seolah berusaha untuk menguak misteri dibalik seorang entrepreneur.
Sayangnya tidak pernah ada jawaban yang pasti, jawaban yang bisa memberikan gambaran seutuhnya dari seorang entrepreneur.

Apabila pertanyaan tersebut diajukan pada seorang entrepreneur maka kebanyakan jawaban yang keluar adalah penjelasan yang telah dirasionalisasikan sehingga kehilangan esensinya atau hanya cerita heroik bernuansa nostalgia yang subyektif dan situasional.

Melalui beberapa posting berikut ini, saya akan menceritakan pengalaman-pengalaman yang saya alami di masa lampau, yang pikir telah menjadi "faktor" yang ikut membentuk sosok seorang entrepreneur.
Tulisan-tulisan tersebut tidak dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan tentang entrepreneur dan entrepreneurship, tetapi hanya untuk sekedar memberikan gambaran betapa kompleksnya proses terbentuknya seorang entrepreneur, termasuk entrepreneurship itu sendiri.

Rabu, 25 Maret 2009

Entrepreneur : Lowongan kerja yang tak kunjung terisi

Menjadi entrepreneur mungkin bisa menjadi alternatif bagi para pencari kerja di saat menciutnya lapangan kerja formal akibat krisis global yang telah mengimbas Indonesia sejak 6 bulan yang lalu.

Menurut Ir. Ciputra, Indonesia sedikitnya membutuhkan 4.400.000 entrepreneur (2% dari jumlah penduduk) agar ekonomi bisa tumbuh berkelanjutan (sustainable growth). Sedangkan saat ini baru ada 400.000 entrepreneur (0,18% jumlah penduduk).
Indonesia masih kekurangan 4.000.000 entrepreneur.

Kenyataan tersebut semestinya menyadarkan generasi muda untuk merubah orientasinya; dari seorang pencari kerja menjadi seorang entrepreneur.

Memang tidak mudah menjadi seorang entrpreneur, apalagi untuk mencapai predikat entrepreneur yang berhasil.
Tetapi mengingat peluangnya yang begitu terbuka dan luas, dapat dipastikan bahwa kesempatan untuk menjadi entreprenur masih lebih besar dibandingkan menjadi pekerja.
So, mari kita mencoba menjadi entrepreneur.

Minggu, 22 Maret 2009

"Sorry" seems to be the hardest word

Judul tersebut adalah sepenggal lirik dari sebuah lagu yang kebetulan saya baca pada sebuah tulisan di Media Indonesia minggu dalam pesawat saat terbang dari Jakarta ke Surabaya siang tadi.

Tulisan di Media Indonesia minggu tersebut menjadi menarik karena isinya adalah kebalikan dari The Power of Imaginary Regret yang saya tulis pada 9 Maret 2009 yang lalu.

Sebagai manusia biasa, sering kali kita merasa kecewa bahkan sedih apabila kita diperlakukan tidak adil oleh orang yang kita percaya bahkan kita cintai. Kita tidak bisa menerima perlakuan tersebut.

Dalam keadaan seperti itu, memberi "maaf" menjadi sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan. Seringkali bahkan kita menipu diri kita sendiri dengan mengatakan bahwa kita bisa memaafkan tapi tidak bisa melupakan.
Ketidak-mampuan kita untuk memaafkan atau melupakan perbuatan seseorang, dengan mudah akan berkembang menjadi dendam yang akan membelenggu diri kita.
Pikiran dan hati kita dipenuhi oleh kebencian dan nafsu membalas perlakuan terhadap diri kita.

Saya pikir, hanya cinta kasih sejati yang dapat membebaskan kita dari "hard feering" seperti itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Ryan O'Neal dalam bagian akhir film Love Story yang dibintanginya, Love means never having to say you are sorry.
Sebelum kamu memintanya, aku telah memaafkanmu. So sweet....

Sabtu, 21 Maret 2009

Menjadi Bankable

Menjadi Bankable artinya menjadi seseorang atau perusahaan yang layak mendapatkan pinjaman Bank.
Masalah ini diidentifikasikan sebagai hambatan bagi usaha kecil untuk mendapatkan pinjaman dari Bank yang sangat diperlukan untuk memperluas usahanya.
Memang dirasakan sebagai ketidak-adilan karena di satu pihak usaha kecil begitu sulitnya mendapat pinjaman sedangkan di pihak lain usaha menengah dan besar dengan mudah mendapatkannya, bahkan sekalipun usaha besar dan menengah tidak memiliki agunan (collateral) yang memadai.

Sebagai pengusaha yang bermula dari usaha kecil, saya pun pernah mengalami ketidak-adilan tersebut.

Salah satu hal penting agar sebuah usaha bisa menjadi Bankable adalah usaha tersebut mempunyai "track record" usaha yang mendukung proposal pinjaman yang akan diajukan.
Tanpa "track record" yang sah, Bank manapun tidak akan percaya begitu saja untuk memberikan pinjaman, walau sekalipun usaha yang dijalankan mempunyai prospek yang sangat baik.

Cara mudah dan sederhana untuk menciptakan "track record" adalah dengan menggunakan rekening Bank sebagai sarana untuk menampung seluruh transaksi bisnis.
Mutasi rekening ini secara otomatis akan membuat seluruh kegiatan bisnis tercatat di Bank.

Dengan cara tersebut, tanpa perlu bersusah-payah "track record" yang diperlukan agar sebuah usaha Bankable bisa diperoleh.

Lukas 4: 1-13

Perikop diatas ditulis oleh Anton di face book sebagai topik acara BRCV yang diadakan hari Rabu tanggal 18 Maret 2009 yang lalu.
Sebuah Perikop yang juga merupakan favorit saya.

Perikop ini mengingatkan agar kita selalu waspada terhadap godaan iblis.
Ada dua godaan yang paling banyak menjerumuskan manusia ke dalam dosa. Yang pertama adalah harta dan yang kedua adalah kekuasaan.

Untuk mendapatkan harta (materi) atau kekuasaan orang seringkali tidak segan-segan melakukan apapun alias menghalalkan segala cara. Termasuk pergi ke dukun untuk menggandakan uangnya atau agar terpilih menjadi anggota legeslatif.

Menjadi kaya ataupun mempunyai kekuasaan tentu saja tidak salah.
Kedua hal tersebut justru adalah yang membuat kita bisa menjadi berkat bagi sesama sebagaimana diamanatkan kepada segenap umat kristiani

Yang salah, sebagaimana yang diungkapkan pada cobaan ke-3 adalah bila dengan harta dan kuasa yang dimilikinya, seseorang kemudian merasa dirinya sebagai yang paling dikasihi oleh Tuhan dan mulai men"coba"i Tuhan.
Bahkan lebih jauh lagi, apabila harta atau kekuasaannya begitu besarnya, seseorang seringkali terpancing untuk "playing God".

Menghadiri FGD I2B ITB

Saya baru tahu bahwa FGD itu singkatan dari Focus Group Discussion dan I2B adalah singkatan Incubator Industri & Bisnis.
Acara tersebut diselenggarakan kemarin, Jumat tanggal 20 Maret 2009 di Kampus Center Timur ITB.

Saya tergelitik untuk menuliskan tentang Kampus Center Timur ITB.
Sebuah bangunan berdinding kaca tembus pandang dengan arsitektur minimalis yang memberikan kesan keterbukaan dan keramahan bagi pengunjung.
Entrance yang luas dilengkapi dengan sebuah Toko Buku sangat nyaman bagi para mahasiswa untuk "lesehan" mengerjakan tugas atau belajar.
Dilengkapi dengan sebuah resto bento ala Jepang sungguh membuat siapapun betah berlama-lama walau hanya sekedar untuk melamun.

Pikiran saya melayang, suatu saat nanti saya ingin membangun Gedung semacam itu di sebuah sudut di Mega Andalan Teknopark.
Sebuah Gedung Pintar yang diperuntukan bagi Laboratorium Otomasi Industri dan Laboratorium Otomotif yang sudah direncanakan akan dibangun sejak 2 tahun yang lalu.

Kegiatan seminggu

Minggu ini terasa begitu cepat berlalu.
Begitu banyak kegiatan di luar kegiatan rutin telah menyita waktu dan pikiran sehingga tanpa terasa sudah 5 hari berturut-turut saya absen menulis blog.

Tadi pagi Pak Robert Simatupang, teman main golf saya menanyakan kapan saya menulis lagi. Sudah terlanjur nge-fan, katanya. Wah, jadi tersanjung dan semangat lagi.
Hari ini saya main 90 sesuai handycap saya yang 18 (birdie di hole 1 dan 8) dan Pak Sim mainnya jelek; menang Rp 160.000. Lumayan, pas untuk bayar green fee. Maaf Pak Sim, next time better ya.

Beberapa acara penting minggu ini antara lain:
- Meeting dengan Ibu Betti Alisjahbana (Founder & CEO QB creative, wakil ketua Dewan Riset Nasional) dan Bapak Sumaryanto Martosudarmo Ph.D (Kepala Pusat Pelayanan Teknologi - BPPT Enjiniring), urusan transformasi Teknologi menjadi Industri.
- Meeting dengan Bapak Teguh Budiyana dan Prof. Kusumo, urusan per"sapi"an
- Meeting Asosiasi Produsen Alkes Indonesia
- Menghadiri FGD Incubator Industri & Bisnis di ITB
- Meeting dengan Setiawan (founder bukukita.com), urusan pengembangan bisnis bukukita.com

Berbagai kegiatan tersebut sebenarnya akan ringan-ringan saja seandainya sekretaris yang baru saja saya angkat tidak meninggalkan saya untuk mengambil lokakarya di LPPM.

Minggu, 15 Maret 2009

Hati-hati dengan win-win solution - jawaban komentar

Juli menulis : "Bun, I thought Po do djo yo nyo itu sama sama kuatnya...bukan sama sama menangnya...makanya berdua mati...The Win win situation is not battling but negotiating..."
Toni menambahkan: "Very good comment :-))"

Sebetulnya posting tentang "win-win" saya tulis sebagai lelucon untuk mengkritisi orang-orang yang sering bilang "win-win" tapi pada hakekatnya tidak memahami bahwa 'win-win" adalah bagian dari sebuah rangkaian proses, seperti halnya "podo joyonyo".

"Win-win" bisa terjadi bila kita terlebih dahulu " seek first to understand than to be understood" dan "win-win" mencapai tujuannya bila hasilnya adalah "sinergy".

Sedangkan "podo joyonyo" berawal dari "Data sawala" (saling berselisih), yang karena "pada jayanya" (sama unggulnya) maka berakhir dengan "maga batanga" (mati bersama) atau seri (draw), dalam bahasa Jawa disebut "jugar".

Baru-baru ini terjadi perselisihan antara Bank Danamon dengan PT Elnusa mengenai transaksi derivative. Karena PT Elnusa cukup kuat dan di back-up oleh pemerintah maka PT Elnusa membawa perkara ini ke Pengadilan (on court). Akhirnya Bank Danamon memilih damai (off court settlement).
Terhadap nasabah lain (yang jauh lebih lemah), transaksi semacam itu langsung dieksekusi. Nasabah tersebut tidak berdaya sama sekali.

Perselisihan antara Salim Group lawan PT Garuda Pancaarta (Makindo Group), keduanya sama kuatnya, dalam sengketa Sugar Group sudah sekian lamanya (on court) tidak kunjung selesai.

Pada prakteknya, solusi "win-win" sebagaimana yang digagas oleh Stephen Covey sulit sekali terjadi apabila kedua belah pihak tidak memahami bahwa "win-win" adalah bagian dari sebuah rangkaian proses.

Sabtu, 14 Maret 2009

Hati-hati dengan win-win solution

Berpikir "win-win" dipopulerkan oleh Stephen Covey dalam bukunya "7-habits of highly effective poeple" - yang diterbitkan lebih dari 10 tahun yang lalu, sebagai salah satu habit yang perlu dikembangkan untuk mencapai sinergy.

Saya teringat ketika itu saya tersenyum dalam hati.
Pikiran saya melayang, kalau saja Stephen Covey itu orang Jawa pasti dia tidak akan menuliskan habit ke-5 tersebut. Bayangkan saja, dalam bahasa jawa win-win itu diterjemahkan sebagai "podo joyonyo" (sama-sama menang).
Nah, dalam penulisan aksara Jawa, "podo joyonyo" adalah kalimat ke-3 yang diteruskan dengan kalimat ke-4 yang bunyinya "mogo botongo" (menjadi mayat alias mati).

Saya pikir bagi orang Jawa (atau juga orang Indonesia), lebih tepat mengganti "win-win" dengan "menang tanpa ngasorake" alias menang tanpa membuat lawan (atau mitra) merasa di"kalah"kan.

The fortune at the bottom of the pyramid

Judul tersebut di atas adalah judul buku karangan C.K. Prahalad, terbitan Wharton School Publishing pada tahun 2004.

Dalam buku tersebut Prahalad mencoba memberikan inspirasi kepada para pengusaha untuk memperhatikan pasar (konsumen) dari golongan masyarakat miskin yang merupakan golongan terbesar (bagian bawah sebuah bangun piramid) dari struktur masyarakat di negara berkembang.
Pengusaha perlu berpikir untuk menciptakan produk-produk yang harganya terjangkau oleh masyarakat miskin. Terutama produk-produk yang bisa diamanfaatkan untuk membantu mereka keluar dari berbagai keterbatasan yang membuat mereka sulit sekali keluar dari belenggu kemiskinan.

Bentuk paling nyata dalam kehidupanan di Indonesia adalah penggunaan ponsel oleh para pedagang keliling, dari tukang sayur sampai tukang permak levis, dengan sebuah ponsel mereka bisa dihubungi oleh pelanggan yang membutuhkan mereka.

Sisi negatip dari pemikiran Prahalad adalah terjadinya capital drain yang diakibatkan oleh sifat konsumerisme masyarakat.
Kalau dahulu masyarakat membuat sendiri shampo dari daun lidah buaya atau merang (sekam padi), sekarang tidak lagi karena ada shampo kemasan sachet yang harganya terjangkau.

Perlu sebuah upaya menciptakan masyarakat produktif yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Sehingga dengan demikian akan terbentuk sebuah kegiatan ekonomi tertutup (close loop economy) untuk mencegah capital drain, sekaligus memungkinkan terjadinya "saving" sebagai sumber modal bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat itu sendiri.

Rabu, 11 Maret 2009

The Black Swan

Sudah sebulan ini saya membaca buku karangan Nassim Nicholas Taleb dengan judul di atas.
Sebuah buku yang membahas tentang berbagai peristiwa acak dan tidak terduga dalam kehidupan umat manusia (atau kita pribadi). Peristiwa yang berdampak amat besar; nyaris mustahil dapat diprediksi; namun setelah terjadi, kita selalu berusaha merasionalisasinya.

Kecenderungan untuk merasionalisasikan berbagai peristiwa telah membuat manusia modern cenderung mengikuti arus; menjadi Platonis, yaitu orang yang berfokus pada "bentuk-bentuk" yang murni dan terdefinisi dengan baik. Padahal apabila kita mau mengabaikan hal-hal yang ada dalam bentuk (struktur) baku, kita akan melihat berbagai peristiwa acak (di luar struktur), yang seolah tidak berhubunganan satu dengan lainnya tetapi justru menjadi pertanda akan munculnya Black Swan (peristiwa besar yang nyaris tidak diprediksi).

Kepekaan terhadap berbagai peristiwa acak akan membuat kita berhenti berusaha memprediksi segala sesuatu dan membawa kita menemukan beberbagai oportunity yang muncul dari berbagai ketidak-pastian.

Buku yang sangat menarik bagi entrepreneur atau calon entrepreneur untuk membuat terobosan, keluar dari kerumunan (breaking the pack) serta memecahkan kebekuan (status quo) yang selalu coba dipertahankan oleh para pemain lama.

Senin, 09 Maret 2009

BI rate turun (3) : Sisi negatipnya

Perubahan BI Rate biasanya langsung dipakai sebagai acuan bunga simpanan yang dijamin oleh Pemerintah (LPS). Selanjutnya, besaran bunga yang dijamin tersebut dijadikan sebagai batas atas (bunga maksimum) yang diberikan oleh Bank kepada para deposan atau penabungnya.
Secara nasional, setiap penurunan sebesar 1% pada besaran bunga simpanan akan mengakibatkan penurunan jumlah bunga yang diterima oleh masyarakat (deposan/penabung) sebesar sekitar Rp 15 Trilyun dalam kurun waktu satu tahun ke depan.
Ini berarti ada potensi turunnya daya beli masyarakat yang secara otomatis akan mengurangi konsumsi masyarakat.

Selama ini pertumbuhan ekonomi Indonesia bersumber pada peningkatan konsumsi nasional dan ekspor.
Di tengah terus menurunnya nilai ekspor nasional, jelas bahwa turunnya konsumsi nasional akan berpengaruh negatip pada sektor industri pengolahan

Penurunan BI Rate adalah kebijakan populis untuk memenuhi desakan para pengusaha (yang terjebak kredit macet) dan politisi (yang selama ini berseberangan dengan pemerintah) serta sifat latah, ikut-ikutan negara maju (Amerika, Jepang dan Eropa) dan text book thinking. Jauh dari pertimbangan rasional apalagi yang berpihak pada rakyat.

The Power of Imaginary Regret

Judul tersebut digunakan oleh Mario Teguh dalam acara Mario Teguh - The Golden way yang disiarkan oleh Metro TV kemarin petang.
Dijelaskan bahwa penyesalan yang mendalam bisa menjadi awal dari perubahan kehidupan kita.
Dengan penyesalan yang mendalam, pada hakekatnya kita secara sungguh-sungguh dan sepenuh hati berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan masa silam. Itulah awal dari proses seseorang untuk berubah menjadi manusia baru.

Kalau kita amati, orang cenderung terlalu mudah untuk meminta maaf secara berulang untuk satu kesalahan yang sama. Orang cenderung terus saja berkubang dalam kehidupan lamanya yang makin lama makin membelenggu dirinya sehingga akhirnya menjadi status quo. Tanpa disadari begitu banyak waktu telah terbuang sehingga akhirnya justru orang menyesal karena tidak sejak dahulu menyesali kesalahan dirinya.

Saya ingin menambahkan bahwa diperlukan "cinta" agar seseorang rela secara sadar menyesali perbuatannya. Penyesalan yang mendalam justru tidak perlu permintaan maaf sebagaimana kata Eric Segal dalam novelnya yang berjudul Love Story, Love means never having to say you are sorry.

Minggu, 08 Maret 2009

BI rate turun (2) : Non Performing Loan (NPL) meningkat

NPL adalah nama keren dari Kredit macet Perbankan.
Makin memburuknya perkembangan ekonomi dunia sudah dapat dipastikan berimbas pada perekonomian Indonesia yang pada gilirannya akan menimbulkan kesulitan bagi dunia usaha di Indonesia.

Wujud nyata dari kesulitan tersebut akan tercermin pada turunnya kemampuan perusahaan-perusahaan dalam membayar bunga dan pokok pinjaman sesuai schedule yang telah ditetapkan. Kondisi ini apabila berlarut-larut akan menyebabkan perusahaan dinyatakan gagal bayar (default) dan kreditnya dinyatakan macet.

Sektor-sektor usaha yang paling menderita adalah:
1. Sektor perkebunan karena turunnya harga-harga komoditas dan turunnya volume permintaan global.
2. Sektor industri yang berorientasi ekspor karena turunnya permintaan global
3. Sektor pertambangan (migas dan batubara) karena turunnya harga minyak dunia
4. Sektor properti dan industri barang-barang konsumsi karena turunnya daya beli masyarakat.

Berikut ini adalah ilustrasi betapa seriusnya ancaman kredit macet.
Saat ini, lebih dari 50% kapitalisasi di sektor perkebunan (didominasi oleh perkebuanan kelapa sawit) dibiayai dengan kredit perbankan. Total kredit yang disalurkan diperkirakan sudah di atas 10% dari total kredit yang disalurkan secara nasional.
Dengan tingkat bunga pinjaman yang berlaku saat ini, beban bunga pinjaman telah mengambil porsi hampir 50% dari hasil (pendapatan) kotornya. Akibatnya, sudah ada beberapa nasabah yang gagal mengangsur pokok pinjamannya.
Bank Mandiri beberapa hari yang lalu telah melakukan restrukturisasi (rescheduling angsuran) portofolio kreditnya senilai Rp 3 T.

Melihat sulitnya menurunkan suku bunga kredit perbankan maka dapat diperkirakan akan terjadi gelombang kredit macet yang pada gilirannya meningkatkan lagi suku bunga kredit atau bahkan bangkrutnya perbakan nasional sebagaimana yang terjadi pada krisis keuangan 1997 yang lalu.

BI rate turun (1) : Mengapa bunga kredit belum turun?

Mengikuti azas transparansi semestinya Bank memberikan penjelasan mengapa sampai dengan saat ini Bank belum menurunkan bunga pinjaman kepada nasabah. Padahal BI rate sebagai acuan bunga simpanan telah beberapa kali diturunkan.
Beberapa besaran pokok yang membentuk suku bunga pinjaman adalah:
1. Bunga simpanan yang dijamin oleh LPS, saat ini sekitar 7% (sedikit dibawah BI rate)
2. Loan to Deposite Ration (LDR), saat ini rata-rata nasional 75%
3. Tingkat Non Performing Loan (NPL), saat ini rata-rata nasional 3%
4. Biaya administrasi dan umum, saat ini rata2 nasional 2%
5. Margin keuntungan, kira-kira 1 - 3%
Besaran tersebut bisa berbeda dimasing-masing Bank. Tapi apabila kita mengacu pada besaran rata-rata nasional sebagaimana di atas maka spread (beda antara bunga pinjaman dengan simpanan) tidak bisa lebih rendah dari 6 - 8%. Itu artinya suku bunga pinjaman tidak mungkin lebih rendah dari 13%.
Walaupun BI rate (acuan bunga simpanan) diturunkan tetapi karena besaran-besaran lain cenderung meningkat maka tidak mungkin Bank bisa menurunkan suku bunga pinjamannya.

Sabtu, 07 Maret 2009

Presiden semestinya tahu......

Tulisan-tulisan mengenai ITIB memberi jawaban dari pertanyaan mengapa Indonesia gagal melakukan industrialisasi.
Industri dibangun tanpa akar sehingga mempunyai ketergantungan (permanen) pada para pemasoknya. Industri-industri besar (canggih)dibeli dan dibangun dengan sistim turn-key (dan mark-up) sehingga nilai-tambah (keuntungan) terbesar justru diambil (lebih dahulu) oleh pemasoknya; dan agar supaya industri tersebut menguntungkan (pengusahanya) maka pemerintah dipaksa (dengan KKN) untuk memberikan proteksi. Lagi-lagi rakyat dikorbankan, dipaksa membeli hasil industri dengan harga mahal.
Industri semacam itu, cepat atau lambat pasti akan menjadi layu (bangkrut).

Proses pe'layu'an industri Indonesia telah berlangsung selama tiga tahun terakhir ditandai dengan pertumbuhan yang rendah (dibawah pertumbuhan nasional).
Penurun ekspor (non migas) sebesar lebih dari 30% pada bulan Januari 2009 adalah bentuk nyata dari gejadi terjadinya deindustrialisasi.

Kalau Presiden bisa ditipu dengan blue energy atau super toy, sudah dapat dipastikan bahwa Presiden tidak mengerti tentang ITIB.

Jumat, 06 Maret 2009

Membangun Industri berbasis IPTEK (3)

Pemahaman tentang Industri berbasis Iptek membuat kita sadar bahwa rangkaian ITIB tidak mungkin dilakukan oleh satu institusi saja. Diperlukan suatu kolaborasi antara Perguruan Tinggi (sebagai sumber Ilmu Pengetahuan) dan Industri / Bisnis.
Dengan demikian Teknologi yang dikembangakan (dari Ilmu Pengetahuan) sesuai dengan kemanmpuan Industri serta memenuhi kebutuhan Bisnis.
Seringkali terjadi, Perguruan Tinggi mengembangkan Teknologi hanya berdasarkan oportunity (Bisnis) belaka, tanpa melihat apakah ada industri yang mampu dan mau melakukan fabrikasi. Akibatnya Teknologi yang sudah dengan susah payah ( dengan mengorbankan waktu dan biaya) dikembangkan menjadi mubazir.
Sebaliknya, pelaku bisnis sulit sekali mengakses sumber-sumber Ilmu Pengetahuan (Perguruan Tinggi)karena ke'angker'an yang ditampilkan oleh Perguruan Tinggi.
Akibatnya, semua jalan sendiri-sendiri yang pada akhirnya menghasilkan stagnasi pertumbuhan sektor insustri sebagaimana telah dijelaskan pada uraian sebelumnya (1).
Mengingat pentingnya pengembangan sektor Industri di Indonesia, tentunya kondisi tersebut tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Harus ada langkah terobosan yang bisa memecahkan kebekuan tersebut.

Membangun Industri berbasis Iptek (2)

Dasar pemikiran rangkaian ITIB adalah bahwa segala sesuatunya berasal dari Ilmu Pengetahuan, yang kemudian ditransformasikan menjadi Teknologi sehingga bisa diaplikasikan menjadi sesuatu yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Salah satu contoh yang mudah dimengerti adalah mengubah tenaga air menjadi tenaga listrik. Dasar Ilmu Pengetahuannya diambil dari hukum Newton, E = m.g.h (tenaga potensial air) yang dikonvesikan menjadi energi listrik dengan menggunakan turbin air dan generator listrik.
Kemudian agar supaya Teknologi tersebut memenuhi syarat ke'ekonomi'an (feasible), perlu ditansformasikan lebih lanjut menjadi Industri (fabrikasi) untuk menghasilkan komoditi yang bisa dijual sehingga pada akhirnya menjadi sebuah kegiatan Bisnis.
Nah, rangkaian tertutup terjadi apabila keuntungan dari Bisnis tersebut digunakan lagi untuk menambah Ilmu Pengetahuan.
Dengan demikian akan terbentuk sebuah Industri (Bisnis) yang berbasis Iptek yang semakin lama semakin canggih dan bernilai-tambah tinggi

Selasa, 03 Maret 2009

Membangun Industri berbasis Iptek (1)

Selama ini Bangsa Indonesia masih berpikir bahwa Teknologi dikuasai oleh negara maju (Amerika, Jepang dan Eropa) sehingga untuk membangun industri kita perlu mendatangkan (membeli) teknologi atau mengundang investor asing dengan harapan terjadi transfer teknologi.

Sayang, setelah 40 tahun ternyata Industri yang dibeli tidak bisa menjadi benih yang subur karena pada kenyataannya industri tidak berkembang biak. Demikian juga halnya dengan harapan terjadinya transfer teknologi, kenyataannya jauh panggang dari api.

Kebangkitan Taiwan, Korea Selatan, Cina dan terakhir India tidak juga menyadarkan Bangsa Indonesia bahwa persepsi tersebut di atas tidak benar. karena nyata-nyata di negara-negara tersebut, industri berbasis Iptek bisa berkembang-biak dengan subur sehingga bisa menjadi soko-guru ekonomi.

Kegagalan di Indonesia dan keberhasilan di Taiwan, Korea Selatan, Cina dan India membenarkan sebuah hipotesa yang mengatakan bahwa Industri semesti adalah menjadi satu mata rantai dari siklus tertutup dari: Ilmu Pengetahuan --> Teknologi --> Industri --> Bisnis (ITIB).
Hipotesa tersebut dikutip dari sebuah esai yang ditulis oleh Y.B Mangun Wijaya (Romo Mangun).
Jadi apabila kita mempunyai obsesi membangun Industri berbasis Iptek, sudah semestinya kita berupaya agar rangkaian siklus ITIB terbentuk.

Ekspor Indonesia turun 36%

Akhirnya kemarin BPS mengumumkan ekspor Indonesia pada bulan Januari 2009 turun sebesar 36,08% terhadap Januari 2008 atau turun 17,7% terhadap Desember 2008.
Pengumuman ini memang ditunggu-tunggu setelah Jepang dan China mengumumkan penurunan ekspornya masing-masing sebesar 45% dan 17%.
Karena porsi ekspor adalah sebesar 25% dalam pembentukan PDB indonesia, maka pengaruh penurunan ini akan berdampak pada penurunan konsumsi (daya beli) domestik sebesar kira-kira 10% sehingga secara agregat ekonomi Indonesia berkontraksi sebesar kira-kira 15 - 16,5% terhadap Januari 2008.

Fakta tersebut perlu dicermati dengan seksama karena cepat atau lambat akan mempengaruhi aspek ekonomi (penghasilan dan oportunity)masyarakat yang pada gilirannya akan merambat ke aspek-aspek lainnya.
Masyarakat perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi kondisi terburuk yang mungkin terjadi karena angka-angka tersebut masih akan terus memburuk.

Sayang sampai dengan saat ini pemerintah masih 'ja-im' dengan bersikap optimis, padahal semestinya pemerintah mengingatkan masyarakat seraya mengajak masyarakat untuk bersama-sama menghadapi krisis yang jelas-jelas telah mulai melanda Indonesia.

Senin, 02 Maret 2009

Ka'adal faqru na ya suna qufron

Mohon maaf kalau tulisannya kurang tepat. Sebenarnya saya mau nulis langsung pakai bahasa Arabnya tapi karena komputer saya belum di set-up untuk aksara Arab jadi di Indonesiakan. Tapi yang penting esensinya tidak hilang, keadaan fakir menjadikan orang menjadi kufur.

Kalimat tersebut baru saja ditulis oleh Rina Suci di wall face book saya.
Langsung pikiran saya teringat bahwa kalimat tersebut pertama kali saya baca pada sekitar tahun 1995 di harian Republika (kalau tidak salah) dalam kolom Basofi Sudirman yang kala itu menjabat Gubernur Jawa Timur.
Saya membacanya di pesawat Garuda dalam perjalanan Jakarta - Yogya dan langsung memberikan inspirasi bagi saya yang sedang memikirkan bagaimana caranya mengusahakan SDM yang dapat dipercaya (jujur). Ternyata sangat mudah, hanya dengan membuat mereka lepas dari ke'fakir'an maka kita bisa berharap orang menjadi takut kepada Tuhannya.

Sesampainya di kantor langsung saya gelar rapat dan saya tugaskan kepala HRD untuk meluncurkan semacam 'inpres karyawan tertinggal' (pada saat itu Pak Harto sedang menggalakan Inpres desa tertinggal).
Hasilnya?..luar biasa!!. Walaupun karyawan terus bertambah management tidak direpotkan untuk melakukan pengawasan. Sampai-sampai management bahkan tidak perlu melakukan pencatatan apapun karena bisa berasumsi bahwa semua orang (karyawan) baik adanya, tidak ada yang menyalah-gunakan jabatannya.

Suatu kiat penghematan biaya yang luar biasa yang pada gilirannya dapat digunakan untuk memperbaiki tingkat pendapatan karyawan serta tercapainya sebuah struktur organisasi yang 'agile'.

Dengan sedikit menggali, ditemukan berlian yang sebetulnya terpendam tepat di bawah kita berdiri. Diperlukan kesadaran untuk bisa mendaya-gunakan banyak hal yang pada hakekatnya telah kita miliki.

Minggu, 01 Maret 2009

Mengatasi kemiskinan, membangun generasi baru

Beberapa waktu yang lalu, seorang karyawan yang telah bekerja selama 28 tahun menghadap direktur. Jabatan terakhir sang karyawan adalah kepala gudang tapi pada hakekatnya juga sebagai tukang packing merangkap tukang bongkar-muat barang hasil produksi.
Saya masih ingat ke-papa-an sang karyawan pada waktu melamar kerja. Sebagai seorang ex Tapol yang saat itu dihindari banyak orang, selain miskin juga sangat terbatas peluangnya untuk mendapat kehidupan yang layak.
Maksud sang karyawan menghadap direktur adalah untuk pamit sehubungan dia akan pensiun serta melaporkan apa-apa saja yang diperoleh selama dia bekerja.
Mengharukan sekaligus membanggakan, dia melaporkan bahwa dari hasil kerjanya selama ini telah berhasil membiayai pendidikan dua orang putranya sehingga lulus sarjana dan saat ini telah bekerja. Lebih jauh lagi dia juga melaporkan bahwa dari kesempatan yang diberikan oleh perusahaan untuk menjadi sub-kontraktor (yang dikerjakan oleh keluarganya)selama lima tahun terakhir, dia telah berhasil membeli secara tunai sebuah mobil Toyota Avanza.
Wow...telah lahir generasi baru yang tidak miskin.
Cerita di atas menyimpulkan bahwa pada hakekatnya kemiskinan hanya bisa dihapus secara permanen apabila kita bisa membangun generasi yang tidak miskin, sebuah generasi yang mempunyai kehendak bebas (sebagai sarjana). Kemiskinan tidak bisa diatasi dengan program-program ad hoc yang bersifat sporadis sesaat.
Cerita di atas bukan cerita fiktif.

Memahami kemiskinan

Berbeda dengan di Bangladesh dimana kemiskinan disana adalah kemiskinan absolut, warga miskin disana bisa dikatakan tidak mempunyai kemampuan ekonomi sama sekali.
Sedangkan di Indonesia, dengan kelimpahan sumber daya alamnya, kemiskianan disini adalah kemiskinan relativ. Orang masih dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya hanya dengan memanfaatkan alam disekitarnya.
Isu kemiskinan muncul ketika 'nilai ekonomi' dari hasil memanfaatkan alam tersebut secara relativ terus menurun jika dibandingkan dengan 'nilai ekonomi' dari kegiatan-kegiatan modern seperti industri, perbankan, telekomunikasi, transportasi, property dll.
Sebagai gambaran, produktivitas petani padi di Jepang tidak berbeda jauh dengan di Indonesia, kira2 10 Ton beras/ha/tahun. Yang berbeda adalah, di Jepang rata-rata petani menggarap 2 ha sawah dengan harga jual beras Rp 25.000,-/kg sedangkan di Indonesia cuma 0,3 ha sawah dengan harga jual beras Rp 5.000,-/kg. Sehingga kalau nilai ekonomi petani Jepang adalah Rp 500 jt/tahun sedangkan petani Indonesia cuma Rp 15 jt/tahun.
Nilai ekonomi petani Jepang tsb tidak berbeda jauh dengan nilai ekonomi sektor lain. Sedangkan nilai ekonomi petani Indonesia sangat jauh tertinggal dari kegiatan sektor lain. Misalnya dengan sektor industri yang besarnya Rp 50 jt (industri kecil) s/d Rp 600 jt (industri multi nasional).
Jelas bahwa ilmunya M.Yunus tidak bisa diimplementasikan di Indonesia

Sosial entrepreneur

Kolom Periskop harian Seputar Indonesia (Sindo) hari ini mengambil topik "Kewirausahawan sosial, solusi atasi kemiskinan". Isinya mengutip pemahaman dan kiprah dari Ashoka (Ashoka.org).

Mungkin untuk negara yang jumlah persentasi kemiskinannya rendah (<1%) sosial entrepreneur efektif untuk mengatasi kemiskinan,tetapi untuk negara yang tingkat kemiskinannya masif (>10%) seperti Indonesia, social entrepreneur sama sekali tidak terbukti efektif untuk mengurangi jumlah penduduk miskin. Yang justru terbukti adalah orang (wirausaha sosial) yang sukses (?) dalam usahanya dengan mengeksploitasi kemiskinan itu sendiri. Kemiskinan dijadikan "komoditas" untuk mendapatkan proyek atau bantuan baik dari pemerintah maupun donor. But the poor still there.

Sebagai orang yang pernah 'miskin' (didefinisikan sebagai orang yang mempunyai tingkat keterbatasan yang jauh lebih besar dari tingkat keleluasaannya, atau dengan lain perkataan tidak memiliki 'kehendak bebas'), saya sangat yakin bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia bisa dikurangi atau bahkan dihapus sama sekali apabila kita (seluruh bangsa) mau memahami persoalan (keterbatasan) yang dihadapi oleh masyarakat miskin serta mempunyai keinginan yang tulus (political will) untuk membantu melepaskannya dari keterbatasan tersebut.

Program-program seperti subsidi pangan (pupuk, bibit, KUT), BLT dan stimulus berupa proyek padat karya pada hakekatnya justru melanggengkan kemiskinan itu sendiri.

Sabtu, 28 Februari 2009

Entrepreneurship


Posting ini dikutip dari blog Bapak Budi Rahardjo.

Terima kasih kepada P.Budi Rahadjo

Kuliah Entrepreneurship

28 Nopember 2007 oleh Budi Rahardjo

Hari Selasa kemarin (27 November 2007), kelas Konsep Teknologi kami (6 kelas paralel) dan kelasnya pak Dwilarso dari Sekolah Bisnis dan Management ITB digabung di Aula Timur ITB. Ini merupakan sebuah sejarah karena kuliah dari mahasiswa teknik dan bisnis digabung menjadi satu! Lebih dari 400 mahasiswa ada di Aula Timur itu. Kuliah kali ini menghadirkan pak Buntoro untuk menceritakan tentang entrepreneurship.

Pak Buntoro ini adalah pimpinan dari perusahaan PT Mega Andalan Kalasan (MAK) yang meproduksi peralatan rumah sakit. Kompas edisi 14 November 2007 yang lalu memasukkan dia ke dalam 14 orang calon entrepreneur Indonesia 2007. Cerita (biografi) pak Buntoro ini ada dalah buku yang berjudul “Never Ending Journey”.

Pak Buntoro merupakan salah satu dari 11 entrepreneur yang masuk ke dalam calon pemenang Entrepreneur Award 2007. [Kemarin, tanggal 28 Nov 2007, telah diumumkan pemenangnya; yaitu pak Ciputra.]

Isi dari kuliah ini campur antara penjelasan dari pak Buntoro dan tanya jawab dengan mahasiswa. Banyak penjelasan dari pak Buntoro (dan saya) yang mungkin berbeda dengan buku teks atau buku yang pernah dibaca oleh mahasiswa. Berikut ini ada beberapa hal yang menarik.


Kegagalan. Bagi seorang entrepreneur, kegagalan adalah sebuah keniscayaan. Gagal di sini digunakan untuk bangkit kembali dan menambah pengalaman untuk mencapai hal yang lebih baik (lebih sempurna). Kegagalan bukanlah sebuah aib. Ini biasa. Nah, mumpung masih jadi mahasiswa (apalagi di tingkat awal), ada banyak waktu untuk melakukan eksperimen dan melewati kegagalan-kegagalan yang kecil. Mumpung masih muda.

Ketika ditanya kegagalan apa yang paling besar, pak Buntoro menjawab bahwa banyak “kegagalan” yang harus dilalui tetapi secara total tidak menjadi kegagalan. Jika diukur dari tolok ukur produktifitas, misalnya (sambil menunjukkan grafik), tetap menaik secara total. Jadi tidak ada yang terlalu masalah.

Kapitalisme dan keberpihakan kepada masyarakat. Ada mahasiswa yang bertanya bahwa entrepreneur itu terlalu kapitalis dan tidak berpihak kepada masyarakat. Apakah betul? Entrepreneur memang tidak bisa dipisahkan dengan kapitalis, tetapi entrepreneur yang sejati dia punya hati. Ketika dia membangun usahanya dia mulai dari bawah, beserta orang-orang kecil, dan terus hingga besar dia tidak lupa itu. Biasanya entrepreneur yang besar mulai dari kecil masih tetap mempunyai hati.

Ada mahasiswa yang mengatakan bahwa jangan khawatir dengan masalah sosial karena perusahaan besarpun punya CSR (Corporate Social Responsibility). Namun pak Buntoro tidak sepakat. Dia mengatakan bahwa dana CSR yang dikeluarkan oleh perusahaan besar itu lebih berupa “permen”. Dana yang dikeluarkan perusahaan kecil kepada masyarakat lebih memiliki nilai. (Ini berdasarakan persentase dari dana yang dikeluarkan dan aset / revenue dari perusahaan tersebut.) Jadi perusahaan kecil malah lebih bertanggung jawab kepada masyarakat.

Ada yang bertanya mengenai management profesional dan entrepreneurship. Pak Buntoro mengatakan bahwa entrepreneur tidak membutuhan management profesional, setidaknya pada taraf awal. Jika kita baru membuat sebuah usaha, tidak perlu kita buat direktur keuangan, atau direktur yang lainnya. Selama semuanya bisa ditangani sendiri, ya ditangani sendiri saja. Jika memang sudah membutuhkan bantuan dari orang lain, ya baru meminta bantuan.

Saya sendiri mengatakan bahwa ada beda seseorang yang entrepreneur dan profesional. Jika saya tiba-tiba diangkat menjadi direktur PT Indosat, misalnya, maka saya adalah seorang profesional bukan entrepreneur. Perusahaan sudah ada, saya tinggal menjalankannya. Mudah-mudahan jelas perbedaannya ya.


Entrepreneurship memang tidak wah. Pada kenyataannya memang demikian.

Saya sendiri dan pak Buntoro masih memiliki sebuah kompetisi, yaitu berlomba-lomba mensukseskan daerah masing-masing. Saya tetap mendorong dengan konsep BHTV di daerah Bandung Raya, pak Buntoro dengan konsepnya sendiri di daerah Yogya dan sekitarnya. Kami masih bertarung; berkompetisi dan berkolaborasi.

Masih ada banyak hal lain dalam catatan saya, namun sudah terlalu panjang dan saya agak terburu-buru. Lain kali saya ulas lagi. Berikut ini foto pak Buntoro dan pak Dwilarso setelah selesai kuliah.


Terima kasih kepada pak Buntoro yang mau hadir di kelas KonTek ini. Ini untuk ketiga kalinya pak Buntoro mengisi kelas kami.