Sabtu, 28 Maret 2009

entrepreneur : To see the unseen (1)

Saya adalah sulung dari 8 bersaudara. Dilahirkan dan dibesarkan di Purbalingga, sebuah kota kabupaten yang kurang penting di daerah ex. Karesidenan Banyumas.

Orang tua saya adalah pedagang minyak goreng kelas menengah, yang bisnis utamanya adalah sebagai pedagang perantara (distributor) minyak goreng dari pabrik minyak goreng yang berlokasi di Cilacap dan Banjarnegara ke pedagang eceran di Purbalingga dan sekitarnya.

Pada puncak kejayaannya, volume penjualan rata-ratanya mencapai kira-kira 5.000 kg/hari. Atau dengan harga yang berlaku sekarang (Rp 7.000,-/kg), nilainya sebesar Rp 35 juta / hari. Keuntungan sebagai distributor hanya 2 - 3% dan setelah dikurangi dengan biaya distribusi, rata-rata keuntungan bersihnya hanya 1% atau kira-kira Rp 7,5 jt/bulan.

Keuntungan tersebut sebetulnya sudah sangat lumayan, apalagi untuk pedagang di kota sekecil Purbalingga. Namun untuk sebuah keluarga besar dengan 7 anak, jumlah tersebut hanya menyisakan sedikit untuk ditabung.

Pada saat itu saya masih duduk di SMP Negeri I Purbalingga. Salah satu tugas saya adalah setiap pagi saya harus mengambil sisa minyak goreng dari drum kosong.
Caranya, drum minyak goreng kosong yang sehari sebelumnya diambil dari pedagang eceran (diganti dengan drum yang baru yang berisi penuh), selama semalaman diletakan terbaring miring dengan bagian bawah (pantat) lebih tinggi dari bagian atasnya sedangkan posisi tutup diatur berada di bagian bawah. Dengan posisi ini maka sisa minyak goreng yang masih melekat di dinding drum akan terkumpul tepat dibagian tutup drum.
Dengan sepotong gombal yang dimasukan melalui tutup drum saya bisa mengambil sisa minyak goreng karena minyak goreng akan membasahi gombal yang kemudian saya peras ke dalam ember.

Pekerjaan tersebut kelihatannya sangat sepele namun secara rata-rata dalam sebulan terkumpul sekitar 200 kg, yang nilainya sekitar Rp 1,4 juta.
Dengan demikian maka dalam waktu 3 tahun tanpa terasa terkumpul tidak kurang dari Rp 50 jt. Suatu jumlah yang apabila didepositokan, hasil bunganya setiap bulan sangat mencukupi untuk membiayai saya melanjutkan ke SMA di Jakarta. Saat itu bunga deposito di bank sekitar 2,5%/bulan.

CATATAN: SEMUA BESARAN NILAI UANG TELAH DIKONVERSIKAN KE DALAM NILAI (HARGA) BERLAKU SAAT INI.

3 komentar:

  1. P Bun,
    Yg menarik buat saya bagaimana Sang Ayah menjelaskan ke Sang Anak di saat usia 13-16 tahun, dan dengan setia sang anak mau mengerjakannya.

    Setelah dikonversikan ke Rp barulah ada yang dihasilkan.

    Thanks God, somebody teach me something today

    Salam

    Ayub

    BalasHapus
  2. Dear Ayub,
    Metafora yang sering diceritakan dalam berbagai buku maupun seminar adalah tentang seorang pemain akrobat, yang setelah berhasil meniti tali menyeberangi arena pertunjukan atau bahkan jeram Niagara, kemudian menawarkan kepada penonton apakah ada yang berani dan mau ikut bersama dirinya bersama-sama meniti tali. Setelah ditunggu lama, ternyata hanya seorang anak kecil yang berani mengajukan dirinya. Mengapa?
    Karena anak kecil tersebut adalah anak kandung sang akrobatik dan anak tersebut percaya betul bahwa ayahnya tidak mungkin mencelakaan dirinya.
    So, no need to explain any thing but "trust".

    BalasHapus
  3. Wah ngga nyangka pak Buntoro yang saya ikuti di milis Senyum-ITB/IA-ITB ternyata dari Purbalingga yah :) Salam Kenal :)

    BalasHapus