Kegiatan Export Peralatan Rumah Sakit oleh PT Mega Andalan Kalasan telah dimulai sejak tahun 2005.
Selama lima tahun terakhir, tujuan export terus berkembang menjadi sekitar 25 negara tujuan export yang tersebar ke negara-negara di Timur Tengah, Afrika, Eropa, Asia Tenggara dan Selandia Baru.
Sedangkan nilai Exportnya telah menembus angka US $ 1 juta sejak tahun 2008 dan ditargetkan tahun 2010 ini akan bisa menembus angka US $ 2 juta.
Pertumbuhan export yang berkesinambungan tersebut menunjukan bahwa selain produk2 yang dihasilkan oleh PT Mega Andalan Kalasan bisa diterima dan disukai oleh konsumen di manca Negara, juga membuktikan bahwa harga produk yang ditawarkan cukup competitive.
Selain itu, dengan telah diterapkannya ISO 9001, ISO 14001, ISO 18001 serta CE marking sejak tahun 2000, produk-produk PT Mega Andalan Kalasan telah dipercaya telah memenuhi standard internasional sehingga aman untuk digunakan oleh konsumen di manca Negara.
Keberhasilan tersebut telah mendorong PT Mega Andalan Kalasan untuk lebih serius menggarap pasar Export sebagai sumber pertumbuhan di masa mendatang.
Mulai tahun ini PT Mega Andalan Kalasan menggarap pasar Amerika Serikat yang merupakan pasar terbesar untuk Peralatan Rumah Sakit di dunia.
Saat ini sedang dilakukan berbagai persiapan terutama yang menyangkut berbagai persyaratan teknis yang diterapkan oleh Food and Drug Administration (FDA) dari Negara yang bersangkutan.
Dengan kapasitas produksi sebesar 40.000 bed per tahun dan mendominasi sekitar 60% pasar dalam negeri , saat ini PT Mega Andalan Kalasan mempersiapkan diri untuk menjadi salah satu pemain dunia di bidang fabrikasi peralatan Rumah Sakit.
Saat ini penjualan Export PT Mega Andalan Kalasan baru mencapai sekitar 10% dari nilai penjualan tahunan.
Dalam 5 tahun mendatang atau tahun 2014 nilai penjualan export akan ditingkatkan menjadi US $ 10 juta atau sekitar 50% dari total penjualan tahunan PT Mega Andalan Kalasan.
Export ke Arab Saudi yang hari ini akan dilepas oleh Bapak Bupati Sleman, Drs Sri Purnomo sebanyak 5 container 40 feet senilai US $ 265.000 bukanlah export perdana.
Tapi peristiwa kali ini kami anggap penting karena selama 3 tahun berturut-turut sejak tahun 2008 kami berhasil memenangkan tender Peralatan Rumah Sakit yang diselenggarakan oleh Pemerintah Arab Saudi untuk mengisi Rumah Sakit baru di kota Jeddah.
Dengan pelepasan export ini kami mohon dukungan doa agar export ke Arab Saudi bisa berkelanjutan dengan nilai yang semakin besar.
Kalasan, 4 Oktober 2010
Blog ini berisi pemikiran Buntoro dalam menyikapi berbagai perkembangan aktual dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya di tanah air. Sikap (pola pikir dan pola tindak) yang tepat akan sangat menentukan tercapainya sebuah cita2.
Senin, 11 Oktober 2010
Senin, 28 Desember 2009
Pembangunan Industri berbasis Riset dan Teknologi (2)
A creation by design and not by default
Siklus Industri
Penggambaran siklus Industri di bawah ini menjelaskan bahwa baik pengusaha maupun peneliti mempunyai peran dan lingkup kerja yang berbeda dan tidak mungkin untuk dicampur-adukan.
--> Ilmu pengetahuan --> Teknologi --> Industri --> Bisnis --> (kembali ke Ilmu Pengetahuan)
Siklus di atas menggambarkan sebuah proses spiral yang makin membesar, dimana Ilmu Pengetahuan ditransformasikan (didaya-gunakan) menjadi Teknologi (penggunaan praktis) oleh para Peneliti dan kemudian bersama-sama dengan Pengusaha (Industri) ditransformasikan lebih lanjut sehingga layak untuk difabrikasi (Industri) sehingga bisa dikomesialkan menjadi sebuah Bisnis yang selanjutnya, sebagian keuntungannya menjadi feed back untuk mengembangkan Industri dengan Teknologi yang lebih canggih.
Hubungan Lembaga Penelitian dengan Industri
Dari siklus di atas terlihat jelas bahwa hubungan langsung antara Lembaga Penelitian dengan Dunia Industri adalah dalam proses menjadikan sebuah (konsep) Teknologi menjadi sebuah produk yang bernilai komersial.
Dalam proses ini sedikitnya ada 3 tahapan yang harus dilalui, yaitu: 1. pembuatan prototype fungsional, 2. Pembuatan prototype komersial dan akhirnya, 3. Pembuatan prototype produksi.
Kemampuan dan semangat dari masing-masing pihak dalam melalui tahapan-tahapan tersebut akan sangat menentukan apakah komersialisasi sebuah Teknologi (hasil penelitian) dapat diwujudkan.
Sebagus apapun sebuah hasil penelitian tidak akan membawa manfaat ekonomi apabila tidak ada Industri yang mampu dan mau mengkomersialkannya.
Kondisi obyektif di Indonesia
Minimnya pemahaman akan siklus tersebut di atas mengakibatkan hampir seluruh hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian menumpuk dalam bentuk kertas kerja. Hasil penelitian tidak dapat diimplementasikan karena dilakukan tanpa terlebih dahulu meneliti kebutuhan obyektif dari dunia Industri.
Hal lucu yang kerap terjadi adalah sikap para peneliti yang menganggap hasil penelitiannya sebagai harta karun yang bernilai tinggi sehingga mereka cenderung untuk merahasiakannya serta menjaganya dari kemungkinan usaha pencurian oleh para pengusaha Industri.
Sikap seperti itu tentu saja membuat para pengusaha Industri enggan berhubungan dengan Lembaga - lembaga Penelitian. Mereka lebih senang membeli industri secara turn-key pada para provider industri di Jepang, Taiwan, Korea Selatan maupun Cina. Dengan demikian, Siklus industri tidak pernah terbentuk di Indonesia. Mata rantainya terputus, bagian Ilmu Pengetahuan – Teknologi digantikan oleh Industri Provider dari luar negeri.
Peran Dewan Riset
Kondisi terputusnya hubungan antara Lembaga Penelitian dengan Dunia Industri sebetulnya telah disadari sejak lama oleh Pemerintah. Berbagai program Riset yang berdasarkan “link and match” telah dilakukan sejak jaman Orde Baru.
Namun sayangnya keikut-sertaan Industri dalam setiap usulan Riset hanya sebatas pemenuhan persyaratan saja. Dalam prakteknya tidak ada bukti nyata bahwa dunia Industri dilibatkan. Nyatanya hampir tidak ada Industri atau produk (hasil industri) yang dihasilkan dari hasil Riset.
Menyadari kenyataan tersebut Dewan Riset (Nasional maupun Daerah) semestinya bisa berperan sebagai lembaga yang mampu menjadi jembatan ataupun katalisator sehingga memungkinkan terjadinya interaksi positip antara lembaga-lembaga riset dan pengusaha (industri) dalam upaya pengembangan Industri berbasis Iptek.
Siklus Industri
Penggambaran siklus Industri di bawah ini menjelaskan bahwa baik pengusaha maupun peneliti mempunyai peran dan lingkup kerja yang berbeda dan tidak mungkin untuk dicampur-adukan.
--> Ilmu pengetahuan --> Teknologi --> Industri --> Bisnis --> (kembali ke Ilmu Pengetahuan)
Siklus di atas menggambarkan sebuah proses spiral yang makin membesar, dimana Ilmu Pengetahuan ditransformasikan (didaya-gunakan) menjadi Teknologi (penggunaan praktis) oleh para Peneliti dan kemudian bersama-sama dengan Pengusaha (Industri) ditransformasikan lebih lanjut sehingga layak untuk difabrikasi (Industri) sehingga bisa dikomesialkan menjadi sebuah Bisnis yang selanjutnya, sebagian keuntungannya menjadi feed back untuk mengembangkan Industri dengan Teknologi yang lebih canggih.
Hubungan Lembaga Penelitian dengan Industri
Dari siklus di atas terlihat jelas bahwa hubungan langsung antara Lembaga Penelitian dengan Dunia Industri adalah dalam proses menjadikan sebuah (konsep) Teknologi menjadi sebuah produk yang bernilai komersial.
Dalam proses ini sedikitnya ada 3 tahapan yang harus dilalui, yaitu: 1. pembuatan prototype fungsional, 2. Pembuatan prototype komersial dan akhirnya, 3. Pembuatan prototype produksi.
Kemampuan dan semangat dari masing-masing pihak dalam melalui tahapan-tahapan tersebut akan sangat menentukan apakah komersialisasi sebuah Teknologi (hasil penelitian) dapat diwujudkan.
Sebagus apapun sebuah hasil penelitian tidak akan membawa manfaat ekonomi apabila tidak ada Industri yang mampu dan mau mengkomersialkannya.
Kondisi obyektif di Indonesia
Minimnya pemahaman akan siklus tersebut di atas mengakibatkan hampir seluruh hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian menumpuk dalam bentuk kertas kerja. Hasil penelitian tidak dapat diimplementasikan karena dilakukan tanpa terlebih dahulu meneliti kebutuhan obyektif dari dunia Industri.
Hal lucu yang kerap terjadi adalah sikap para peneliti yang menganggap hasil penelitiannya sebagai harta karun yang bernilai tinggi sehingga mereka cenderung untuk merahasiakannya serta menjaganya dari kemungkinan usaha pencurian oleh para pengusaha Industri.
Sikap seperti itu tentu saja membuat para pengusaha Industri enggan berhubungan dengan Lembaga - lembaga Penelitian. Mereka lebih senang membeli industri secara turn-key pada para provider industri di Jepang, Taiwan, Korea Selatan maupun Cina. Dengan demikian, Siklus industri tidak pernah terbentuk di Indonesia. Mata rantainya terputus, bagian Ilmu Pengetahuan – Teknologi digantikan oleh Industri Provider dari luar negeri.
Peran Dewan Riset
Kondisi terputusnya hubungan antara Lembaga Penelitian dengan Dunia Industri sebetulnya telah disadari sejak lama oleh Pemerintah. Berbagai program Riset yang berdasarkan “link and match” telah dilakukan sejak jaman Orde Baru.
Namun sayangnya keikut-sertaan Industri dalam setiap usulan Riset hanya sebatas pemenuhan persyaratan saja. Dalam prakteknya tidak ada bukti nyata bahwa dunia Industri dilibatkan. Nyatanya hampir tidak ada Industri atau produk (hasil industri) yang dihasilkan dari hasil Riset.
Menyadari kenyataan tersebut Dewan Riset (Nasional maupun Daerah) semestinya bisa berperan sebagai lembaga yang mampu menjadi jembatan ataupun katalisator sehingga memungkinkan terjadinya interaksi positip antara lembaga-lembaga riset dan pengusaha (industri) dalam upaya pengembangan Industri berbasis Iptek.
Pembangunan Industri berbasis Riset dan Teknologi (1)
A creation by design and not by default
Sub judul tersebut di atas adalah ungkapan dari Prof. Dr. Koentjaraningrat yang dikutip oleh Jakob Utama dalam bukunya “Bersyukur dan menggugat diri”, yang membahas masalah pembangunan Demokrasi dan Kebudayaan.
Dalam tulisan tersebut dikatakan bahwa sudah saatnya Bangsa Indonesia menyadari perlunya membuat rancangan kehidupan berdemokrasi dan berbudaya berdasarkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dengan tujuan membangun sebuah budaya (kultur) bangsa yang kompetitif. Sehingga tidak sebagaimana apa yang terjadi selama ini, terombang-ambing dalam arus globalisasi, yang pada akhirnya nanti, sebagaimana saat ini, akan kita sadari bahwa selama ini kita jalan di tempat.
Kondisi Industri di Indonesia
Dari pengalaman dan pengamatan penulis yang dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun menekuni bidang Industri, penulis melihat jelas bahwa keterombang-ambingan arah gerak pengembangan Industri juga mengalami hal yang kurang-lebih sama.
Industri tidak dibangun dengan perencanaan (by design) berdasarkan kompetensi atau Teknologi yang dikuasai, namun lebih didasarkan pada pertimbangan kebutuhan mendesak sesaat (by default).
Dengan demikian, Industri yang ada di Indonesia sifatnya dangkal dan tidak berakar pada kompetensi (Teknologi) yang semestinya dijadikan dasar pembangunan sebuah Industri. Industri semacam itu tidak kompetitif sehingga memerlukan proteksi yang terus-mnerus karena sulit bersaing dengan Industri sejenis dari negara lain, terutama dalam era globalisasi saat ini.
Melihat keadaan tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa sudah saatnya kita memikirkan pengembangan Industri yang dibangun berdasar pada Teknologi yang kita kembangkan sendiri dengan mempertimbangkan kompetensi dan kebutuhan nyata dalam Dunia Industri.
Namun demikian, menyadari kondisi masyarakat Indonesia saat ini, kita tidak mungkin mengharapkan Dunia Industri bisa mengembangkan sendiri Teknologi tersebut karena kemampuan Dunia Industri dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IpTek) sangatlah terbatas.
Peran Lembaga Penelitian
Salah satu lembaga yang semestinya dapat berperan besar dalam pembangunan Industri yang berbasis pada Iptek adalah lembaga-lembaga penelitian yang sudah ada tersebar di seantero tanah air, baik yang ada di bawah naungan Perguruan Tinggi, LIPI maupun Menristek.
Dari pengalaman dan pengamatan penulis dalam membangun hubungan dengan lembaga-lembaga Riset dan beberapa Perguruan Tinggi sejak tahun 1998 terdapat banyak sekali kendala yang dihadapi.
Salah satu kendala yang paling mendasar adalah tidak adanya pemahaman tentang sebuah siklus Industri, sehingga masing-masing pihak (peneliti dan pengusaha) tidak memahami peran dan domain (lingkup kerja) masing-masing sehingga sulit sekali terjadi sebuah sinergy.
Sub judul tersebut di atas adalah ungkapan dari Prof. Dr. Koentjaraningrat yang dikutip oleh Jakob Utama dalam bukunya “Bersyukur dan menggugat diri”, yang membahas masalah pembangunan Demokrasi dan Kebudayaan.
Dalam tulisan tersebut dikatakan bahwa sudah saatnya Bangsa Indonesia menyadari perlunya membuat rancangan kehidupan berdemokrasi dan berbudaya berdasarkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dengan tujuan membangun sebuah budaya (kultur) bangsa yang kompetitif. Sehingga tidak sebagaimana apa yang terjadi selama ini, terombang-ambing dalam arus globalisasi, yang pada akhirnya nanti, sebagaimana saat ini, akan kita sadari bahwa selama ini kita jalan di tempat.
Kondisi Industri di Indonesia
Dari pengalaman dan pengamatan penulis yang dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun menekuni bidang Industri, penulis melihat jelas bahwa keterombang-ambingan arah gerak pengembangan Industri juga mengalami hal yang kurang-lebih sama.
Industri tidak dibangun dengan perencanaan (by design) berdasarkan kompetensi atau Teknologi yang dikuasai, namun lebih didasarkan pada pertimbangan kebutuhan mendesak sesaat (by default).
Dengan demikian, Industri yang ada di Indonesia sifatnya dangkal dan tidak berakar pada kompetensi (Teknologi) yang semestinya dijadikan dasar pembangunan sebuah Industri. Industri semacam itu tidak kompetitif sehingga memerlukan proteksi yang terus-mnerus karena sulit bersaing dengan Industri sejenis dari negara lain, terutama dalam era globalisasi saat ini.
Melihat keadaan tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa sudah saatnya kita memikirkan pengembangan Industri yang dibangun berdasar pada Teknologi yang kita kembangkan sendiri dengan mempertimbangkan kompetensi dan kebutuhan nyata dalam Dunia Industri.
Namun demikian, menyadari kondisi masyarakat Indonesia saat ini, kita tidak mungkin mengharapkan Dunia Industri bisa mengembangkan sendiri Teknologi tersebut karena kemampuan Dunia Industri dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IpTek) sangatlah terbatas.
Peran Lembaga Penelitian
Salah satu lembaga yang semestinya dapat berperan besar dalam pembangunan Industri yang berbasis pada Iptek adalah lembaga-lembaga penelitian yang sudah ada tersebar di seantero tanah air, baik yang ada di bawah naungan Perguruan Tinggi, LIPI maupun Menristek.
Dari pengalaman dan pengamatan penulis dalam membangun hubungan dengan lembaga-lembaga Riset dan beberapa Perguruan Tinggi sejak tahun 1998 terdapat banyak sekali kendala yang dihadapi.
Salah satu kendala yang paling mendasar adalah tidak adanya pemahaman tentang sebuah siklus Industri, sehingga masing-masing pihak (peneliti dan pengusaha) tidak memahami peran dan domain (lingkup kerja) masing-masing sehingga sulit sekali terjadi sebuah sinergy.
Langganan:
Postingan (Atom)