Mungkin apa yang saya ceritakan berikut ini tidak pernah terbayangkan oleh generasi muda saat ini.
Saat saya ramaja, sekitar akhir tahun 60-an, belum ada pompa air listrik sebagaimana saat ini. Kebutuhan air untuk berbagai keperluan harus diambil langsung dari sumur dengan cara ditimba. Caranya, ember yang diikat dengan tali timba diturunkan sampai ke permukaan air sumur dan kemudian setelah dipenuhi air ditarik kembali ke atas. Demikian seterusnya.
Sebagai anak sulung, setiap pagi saya bertugas untuk mengisi bak mandi untuk keperluan mandi bagi seluruh keluarga. Bak mandi tersebut ukurannya kira-kira 150 cm (P) x 60 cm (L) x 120 cm (T), jadi diperlukan air kira-kira 1.000 liter untuk memenuhinya.
Dengan menggunakan ember berukuran 8 liter, sedikitnya diperlukan 120 kali menurunkan-naikan ember ke dalam sumur. Dalam keadaan normal, setiap menit saya mampu menimba sebanyak 3 kali, sehingga sedikitnya saya memerlukan waktu 40 menit untuk memenuhi bak mandi tersebut. Tapi pada saat musim kemarau, permukaan air sumur turun dari kedalaman normalnya (6 meter) menjadi 10 meter, sehingga diperlukan waktu sekitar 1 jam untuk memenuhi bak mandi.
Pekerjaan tersebut harus saya selesaikan sebelum pukul 6 pagi, yaitu sebelum adik-adik saya bangun dan mulai mandi. Hal ini penting sekali karena kalau adik-adik saya mulai mandi sebelum bak mandi penuh maka berarti berarti pekerjaan tambahan bagi saya karena tugas saya adlah mengisi penuh bak mandi.
Dengan tugas tersebut, saya menjadi sangat familiar untuk mengkonversikan sebuah pekerjaan menjadi segmen-segmen yang terukur (rasional), memperhitungkan cycle-time suatu segmen pekerjaan, merencanakan kapan waktu yang paling pas untuk memulai suatu pekerjaan agar pekerjaan tersebut selesai tepat waktu, peka terhadap berbagai perubahan (cuaca) dan bangun sebelum subuh.
Hasil sampingan dari tugas tersebut adalah mens sana in corpore sano.
Blog ini berisi pemikiran Buntoro dalam menyikapi berbagai perkembangan aktual dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya di tanah air. Sikap (pola pikir dan pola tindak) yang tepat akan sangat menentukan tercapainya sebuah cita2.
Minggu, 29 Maret 2009
Sabtu, 28 Maret 2009
entrepreneur : To see the unseen (1)
Saya adalah sulung dari 8 bersaudara. Dilahirkan dan dibesarkan di Purbalingga, sebuah kota kabupaten yang kurang penting di daerah ex. Karesidenan Banyumas.
Orang tua saya adalah pedagang minyak goreng kelas menengah, yang bisnis utamanya adalah sebagai pedagang perantara (distributor) minyak goreng dari pabrik minyak goreng yang berlokasi di Cilacap dan Banjarnegara ke pedagang eceran di Purbalingga dan sekitarnya.
Pada puncak kejayaannya, volume penjualan rata-ratanya mencapai kira-kira 5.000 kg/hari. Atau dengan harga yang berlaku sekarang (Rp 7.000,-/kg), nilainya sebesar Rp 35 juta / hari. Keuntungan sebagai distributor hanya 2 - 3% dan setelah dikurangi dengan biaya distribusi, rata-rata keuntungan bersihnya hanya 1% atau kira-kira Rp 7,5 jt/bulan.
Keuntungan tersebut sebetulnya sudah sangat lumayan, apalagi untuk pedagang di kota sekecil Purbalingga. Namun untuk sebuah keluarga besar dengan 7 anak, jumlah tersebut hanya menyisakan sedikit untuk ditabung.
Pada saat itu saya masih duduk di SMP Negeri I Purbalingga. Salah satu tugas saya adalah setiap pagi saya harus mengambil sisa minyak goreng dari drum kosong.
Caranya, drum minyak goreng kosong yang sehari sebelumnya diambil dari pedagang eceran (diganti dengan drum yang baru yang berisi penuh), selama semalaman diletakan terbaring miring dengan bagian bawah (pantat) lebih tinggi dari bagian atasnya sedangkan posisi tutup diatur berada di bagian bawah. Dengan posisi ini maka sisa minyak goreng yang masih melekat di dinding drum akan terkumpul tepat dibagian tutup drum.
Dengan sepotong gombal yang dimasukan melalui tutup drum saya bisa mengambil sisa minyak goreng karena minyak goreng akan membasahi gombal yang kemudian saya peras ke dalam ember.
Pekerjaan tersebut kelihatannya sangat sepele namun secara rata-rata dalam sebulan terkumpul sekitar 200 kg, yang nilainya sekitar Rp 1,4 juta.
Dengan demikian maka dalam waktu 3 tahun tanpa terasa terkumpul tidak kurang dari Rp 50 jt. Suatu jumlah yang apabila didepositokan, hasil bunganya setiap bulan sangat mencukupi untuk membiayai saya melanjutkan ke SMA di Jakarta. Saat itu bunga deposito di bank sekitar 2,5%/bulan.
CATATAN: SEMUA BESARAN NILAI UANG TELAH DIKONVERSIKAN KE DALAM NILAI (HARGA) BERLAKU SAAT INI.
Orang tua saya adalah pedagang minyak goreng kelas menengah, yang bisnis utamanya adalah sebagai pedagang perantara (distributor) minyak goreng dari pabrik minyak goreng yang berlokasi di Cilacap dan Banjarnegara ke pedagang eceran di Purbalingga dan sekitarnya.
Pada puncak kejayaannya, volume penjualan rata-ratanya mencapai kira-kira 5.000 kg/hari. Atau dengan harga yang berlaku sekarang (Rp 7.000,-/kg), nilainya sebesar Rp 35 juta / hari. Keuntungan sebagai distributor hanya 2 - 3% dan setelah dikurangi dengan biaya distribusi, rata-rata keuntungan bersihnya hanya 1% atau kira-kira Rp 7,5 jt/bulan.
Keuntungan tersebut sebetulnya sudah sangat lumayan, apalagi untuk pedagang di kota sekecil Purbalingga. Namun untuk sebuah keluarga besar dengan 7 anak, jumlah tersebut hanya menyisakan sedikit untuk ditabung.
Pada saat itu saya masih duduk di SMP Negeri I Purbalingga. Salah satu tugas saya adalah setiap pagi saya harus mengambil sisa minyak goreng dari drum kosong.
Caranya, drum minyak goreng kosong yang sehari sebelumnya diambil dari pedagang eceran (diganti dengan drum yang baru yang berisi penuh), selama semalaman diletakan terbaring miring dengan bagian bawah (pantat) lebih tinggi dari bagian atasnya sedangkan posisi tutup diatur berada di bagian bawah. Dengan posisi ini maka sisa minyak goreng yang masih melekat di dinding drum akan terkumpul tepat dibagian tutup drum.
Dengan sepotong gombal yang dimasukan melalui tutup drum saya bisa mengambil sisa minyak goreng karena minyak goreng akan membasahi gombal yang kemudian saya peras ke dalam ember.
Pekerjaan tersebut kelihatannya sangat sepele namun secara rata-rata dalam sebulan terkumpul sekitar 200 kg, yang nilainya sekitar Rp 1,4 juta.
Dengan demikian maka dalam waktu 3 tahun tanpa terasa terkumpul tidak kurang dari Rp 50 jt. Suatu jumlah yang apabila didepositokan, hasil bunganya setiap bulan sangat mencukupi untuk membiayai saya melanjutkan ke SMA di Jakarta. Saat itu bunga deposito di bank sekitar 2,5%/bulan.
CATATAN: SEMUA BESARAN NILAI UANG TELAH DIKONVERSIKAN KE DALAM NILAI (HARGA) BERLAKU SAAT INI.
Kamis, 26 Maret 2009
entrepreneur : sosok multi dimensi
Pertanyaan yang seringkali muncul adalah: apakah semua orang bisa menjadi entrepreneur?, seberapa besar pengaruh latar belakang keluarga dalam ikut melahirkan seorang entrepreneur?, apakah entrepreneurship bisa diajarkan secara formal di sekolah?, dan seterusnya....dan seterusnya.
Begitu banyaknya pertanyaan-pertanyaan di sekitar entrepreneur dan entrepreneurship, seolah berusaha untuk menguak misteri dibalik seorang entrepreneur.
Sayangnya tidak pernah ada jawaban yang pasti, jawaban yang bisa memberikan gambaran seutuhnya dari seorang entrepreneur.
Apabila pertanyaan tersebut diajukan pada seorang entrepreneur maka kebanyakan jawaban yang keluar adalah penjelasan yang telah dirasionalisasikan sehingga kehilangan esensinya atau hanya cerita heroik bernuansa nostalgia yang subyektif dan situasional.
Melalui beberapa posting berikut ini, saya akan menceritakan pengalaman-pengalaman yang saya alami di masa lampau, yang pikir telah menjadi "faktor" yang ikut membentuk sosok seorang entrepreneur.
Tulisan-tulisan tersebut tidak dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan tentang entrepreneur dan entrepreneurship, tetapi hanya untuk sekedar memberikan gambaran betapa kompleksnya proses terbentuknya seorang entrepreneur, termasuk entrepreneurship itu sendiri.
Begitu banyaknya pertanyaan-pertanyaan di sekitar entrepreneur dan entrepreneurship, seolah berusaha untuk menguak misteri dibalik seorang entrepreneur.
Sayangnya tidak pernah ada jawaban yang pasti, jawaban yang bisa memberikan gambaran seutuhnya dari seorang entrepreneur.
Apabila pertanyaan tersebut diajukan pada seorang entrepreneur maka kebanyakan jawaban yang keluar adalah penjelasan yang telah dirasionalisasikan sehingga kehilangan esensinya atau hanya cerita heroik bernuansa nostalgia yang subyektif dan situasional.
Melalui beberapa posting berikut ini, saya akan menceritakan pengalaman-pengalaman yang saya alami di masa lampau, yang pikir telah menjadi "faktor" yang ikut membentuk sosok seorang entrepreneur.
Tulisan-tulisan tersebut tidak dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan tentang entrepreneur dan entrepreneurship, tetapi hanya untuk sekedar memberikan gambaran betapa kompleksnya proses terbentuknya seorang entrepreneur, termasuk entrepreneurship itu sendiri.
Langganan:
Postingan (Atom)