Senin, 27 April 2009

Jalan menjadi konglomerat. (2) : menuju landas pacu

Kesulitan utama yang dihadapi oleh usaha industri yang jenis produknya "bukan barang konsumsi sehari-hari" atau "bukan barang kebutuhan primer" adalah permintaan (demand) yang tidak stabil.
Untuk komoditi Peralatan Rumah Sakit, kesulitan tersebut ditambah lagi dengan sangat terbatasnya jumlah konsumen dan luasnya geografis Indonesia.

Karakteristik pasar tersebut sangat sulit diantisipasi oleh industri. Kegiatan produksi terpaksa dijalankan dengan sistim "make to order" yang tidak efisien karena produktivitas yang rendah.

Untunglah pada saat yang sama terjadi perubahan pasar Peralatan Rumah Sakit yang cukup dramatis.

Tanpa diduga dan dinyana, pada saat yang sama (paruh kedua tahun 80-an), pembangunan Rumah Sakit bergaya modern baru saja dimulai. Ini ditenggarai dengan dibangunnya beberapa Rumah Sakit Swasta modern seperti Rumah Sakit Metropolitan Medical Center (MMC), Graha Medika, Pondok Indah dan lain-lain.

Bersamaan dengan geliat pasar Pelayanan Kesehatan di sektor swasta, Pemerintah juga melaksanakan program pembangunan besar-besaran Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat dan Rumah Sakit Umum (Pusat dan Daerah) sepanjang akhir Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (Pelita-5, 1988 - 1993) untuk melengkapi program persiapan tinggal landas menuju PJPT II.

Sayangnya, booming permintaan Peralatan Rumah Sakit tersebut tidak serta merta dapat diantisipasi secara masif.
Beberapa kendala yang masih menggelayut, baik internal maupun eksternal banyak menyita waktu, biaya, tenaga dan pemikiran untuk mempersiapkan diri agar siap menangkap berbagai peluang yang muncul.

Persoalan internal baru bisa dikatakan selesai tuntas pada akhir tahun 1990 setelah selama hampir selama 3 tahun berada pada posisi "survival for the life". (baca Never Ending Journey, NEJ I).

Baru pada 1 Januari 1991, kami tepat berada di ujung landas pacu. Siap untuk memacu pesawat menyusuri run away untuk take off, terbang menembus mega.

Now, sky is the limit.

Minggu, 26 April 2009

Jalan menjadi konglomerat. (1) : Dipersimpangan jalan

Sebagai seorang yang mengawali usaha dengan modal pas-pasan, saya pernah merasakan betapa sulitnya mengembangkan usaha hanya dengan mengandalkan modal yang dimiliki sendiri.
Terlebih lagi jika tidak memiliki koneksi dengan pejabat pemerintah yang bisa membantu untuk medapatkan proyek atau pejabat Bank untuk mendapatkan pinjaman modal. Segala sesuatunya harus didapatkan dengan bekerja keras, mengerahkan semua kemampuan walau hasilnya hanya untuk sekedar bisa mempertahankan hidup.

Sampai suatu ketika, setelah berusaha selama kurun waktu 6 tahun (kira-kira akhir tahun 86), saya menyadari bahwa walaupun ada kemajuan usaha tetapi relatif tertinggal jauh bila dibandingkan dengan para pesaing. Saya menyadari bahwa dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki perusahaan, tidak mungkin usaha tersebut dikembangkan lebih lanjut.
Keadaan tersebut memnggelisahkan saya. Sampai suatu saat saya menyimpulkan bahwa saya harus segera banting setir karena setelah ditimbang-timbang, usaha sebagai pedagang Alat Laboratorium tidak mempunyai masa depan sebagaimana yang saya cita-citakan.
Saya bercita-cita menjadi konglomerat.

Untuk menjadi seorang konglomerat, diperlukan suatu bidang usaha yang mempunyai struktur yang bisa dikembangkan tanpa batas (sky is the limit). Dan pilihan yang paling mungkin adalah bidang industri. Alasannya adalah karena industri bisa dikembangkan mulai dari industri kecil bahkan mikro. Berbeda dengan bidang-bidang lain seperti property, perbankan, telekomunikasi dan lain-lain bidang yang padat modal.

Dengan pemikiran tersebut maka kegiatan usaha secara bertahap saya arahkan untuk mulai menjual produk industri yang diproduksi sendiri.
Ternyata upaya ini tidak mudah untuk dilakukan karena ada begitu banyak keraguan terhadap kemungkinan keberhasilan usaha baru ini dari para mitra usaha.

Kondisi tersebut membuat saya mengalami dilematis yang sangat berat. Di satu pihak saya berpikir bahwa saya hanya akan membuang waktu saja apabila saya meneruskan kegiatan usaha lama, sedangkan di pihak lain apabila saya bertahan pada obsesi menjadi konglomerat maka saya harus siap untuk berjalan sendiri.

Setelah membuat analisa yang mendalam terhadap kinerja masa lalu serta memperhitungkan berbagai kesulitan yang akan dihadapi bila saya berjalan sendiri, maka dengan tekad yang bulat saya memilih untuk berjalan sendiri.

Sabtu, 25 April 2009

Entrepreneur : (My) Character is (my) destiny (7)

Berbagai tulisan dalam "Charachter is destiny" dimaksudkan untuk memberikan ilustrasi yang menggambarkan bahwa untuk menjadi seorang entrepreneur tidak cukup hanya bermodalkan sifat-sifat dasar seperti rajin belajar, rajin bekerja, hemat, ulet dan sebagainya.
Sifat-sifat dasar tesebut hanya bisa diibaratkan sebagai warna dasar sebuah kanvas dan sama sekali tidak memberikan indikasi apakah seseorang potensial untuk menjadi seorang entrepreneur.
Sedangkan sosok entrepreneur diibaratkan sebagai lukisan, yang baru akan terbentuk oleh goresan demi goresan yang ditorehkan oleh sang pelukis.

Nilai sebuah lukisan tidak ditentukan oleh "keindahan" dari apa yang tergambar di atas kanvas, tetapi oleh kekuatan (daya magis) yang terpancar, yang mampu membawa pikiran orang yang melihatnya "mengembara" ke "tempat, waktu dan situasi" yang berusaha di tuangkan oleh sang pelukis di atas kanvas.

Demikian halnya dengan sosok seorang entrepreneur, dimana dan kapan pun dia berada akan selalu terpancar sebuah kekuatan (entrepreneurship) yang mampu memberikan inspirasi siapa pun orang yang berada di sekelilingnya.

Sebagaimana sebuah lukisan, gambarnya bisa apa saja, dari yang naturalis sampai yang abstrak bahkan yang hanya imajinasi sang pelukis sekali pun sebagaimana lukisanan "last supper"nya Leonardo da Vinci yang mengilhami Dan Brown untuk menulis Novel Davinci Code. Seorang entrepreneur tidak selalu identik dengan sosok seorang pengusaha (besar), dia bisa ditampilkan pengambil sosok seorang Bob Sadino, Tommy Winata, Bill Gate, Don Corleone (God father) atau bahkan sorang Yanto (pedagang Bakmi dengan gerobag dorong yang mangkal di depan kantor saya sejak lebih dari 20 tahun yang lalu).

Pengalaman saya sepuluh tahun yang lalu ketika berkunjung ke Jepang untuk melihat beberapa industri "kecil" disana, memberikan pandangan yang beberbeda bagi seorang entrepreneur. Saya melihat banyak industri "kecil" yang telah berumur lebih dari 20 tahun tetapi tetap eksis ditengah tumbuhnya banyak raksasa industri seperti Toyota, Mitsubishi, Sony, National dan lain-lain.
Saya merasakan adanya pancaran kekuatan yang menjelaskan mengapa mereka masih bisa eksis walaupun tetap "kecil".
"Small but happiness" is the right words to explain why.